Menyambut 10 Malam Terakhir Ramadan

Oleh: K.H. Aliasyadi, Lc. M.A*

Nabi menganjurkan agar 10 akhir Ramadan diisi dengan I’tikaf. I’tikaf adalah kegiatan mentransfer waktu, tempat dan jenis aktivitas dunia dari rumah pribadi ke rumah Allah. Jika di hari biasa sebagian besar waktu, tempat berbagai jenis aktivitas dunia dilakukan di rumah pribadi, maka di akhir Ramadan dialihkan ke masjid dan dari aktivitas dunia menjadi aktivitas akhirat.

Ada dua jenis paket I’tikaf. Pertama paket lengkap yaitu i’tikaf di masjid sepanjang akhir Ramadan tanpa meninggalkan masjid sama sekali. Selama di masjid seluruh aktivitas akhirat. Paket kedua: I’tikaf part time yaitu tinggal sejam dua jam di masjid, lalu kembali ke rumah bila ada kebutuhan dunia.

Apa pentingnya kita melakukan i’tikaf 10 akhir Ramadan?

Pertama: Motor dan mobil yang sudah lama dioperasikan akan mulai rusak dan macet. Dia butuh untuk diservis. Untuk menservisnya mobil dioff dari rutinitas harian untuk sementara dan ditinggal di bengkel servis. Jiwa yang telah lama kita pakai ini juga mulai banyak kerusakan. Butuh untuk diservis. Servis jiwa dilakukan dengan menghentikan rutinas harian duniawinya selama 10 hari dan meninggalkanya di bengkel masjid.

Ada dua proses penting selama proses servis berlangsung. Pertama: At-takhliyah, mengirit tubuh dari aktivias dunia seminimalis mungkin. Irit bicara (qillatul kalam), irit makan (qillatuttaam), irit tidur (qillatul manam), irit interaksi (qillatul anam). Kedua: At-tahliyah, mengisi jiwa dengan aktivitas akhirat semaksimal mungkin. Full zikir, full tafakkur, full tadabbur dan full doa.

Harapannya setelah dua proses ini berlangsung maka jiwa akan menjadi lebih terang melihat, lebih tajam mendengar, lebih kokoh mengenggam dan lebih tahan melangkah. Allah berfirman dalam hadist Qudsi:
Hamba yang senantiasa mendekat kepadaku dengan ibadah sunnah akan kucintai. Ketika aku mencintai hambaku maka pendengaranku yang dipakai saat ia mendengar, penglihatanku digunakan saat ia memandang, tanganku yang digunakan saatnia menggenggam dan kaki yang diayuhkan saat ia melangkah.

Kedua : Kita rajin melatih diri untuk sesuatu yang belum pasti dihadapi kemudian. Seperti latihan bahasa asing semasa sekolah. Padahal ketika tamat sekolah belum tentu dipakai. Sebaliknya, kita tidak melatih diri untuk sesuatu yang pasti. Mati itu pasti, tapi pernahkah anda berlatih untuknya?

Mati adalah pemutus segala kelezatan dunia, dalam sabda Nabi. I’tikaf adalah latihan memutus kelezatan dunia selama 10 hari. Penting menyadarkan jiwa tentang mati. Dan kesadaran biasa lahir dengan merasakannya. Sekedar melihat orang mati mungkin tak berefek menyadarkan kita. Tapi melakoni diri kita terputus dari seluruh koneksi dunia efektif membangkitkan sense mati di hati kita yang sedang mengeras.

Nabi pernah ditanya: siapakan manusia paling jenius? Beliau menjawab yang paling sering ingat mati dan paling bagus persiapannya untuk itu.

Ketiga: Lailatul Qadr diprediksi terjadi di 10 akhir Ramadhan. Lailatul Qadr tidak turun seperti air hujan turun dari langit. Air hujan dengan sangat dermawan memberi air kepada siapapun tanpa melihat penerimanya ingin dan suka atau tidak.

Lailatul qadr turun bagai gelombang sinyal yang hanya memberi kepada orang yang menyiapkan alat penangkap sinyal. Masjid adalah posisi di bumi yang paling kuat menangkap gelombang sinyal lailatul qadr dibandingkan rumah. Karena masjid lebih steril dari rumah.

Di rumah penuh dengan benda benda dunawi yang gelombang sinyalnya mengganngu bahkan lebih kuat dari sinyal lailatul qadr. Sehigga alih-alih berzikir kita lebih tertarik main game. Alih alih khatam al qur’an kita lebih suka khatam drama.

*Pimpinan Pesantren Anwarul Qur’an, Kota Palu

Kemandirian Ekonomi Pesantren


Pada awalnya pesantren hanya berfungsi untuk tempat belajar mengajar antara seorang guru dan murid yang tinggal dalam satu lingkungan yang sama dan untuk memenuhi kebutuhan pangannya maka tetap dibebankan kepada masing-masing dan juga pemberian dari masyarakat yang mendukung Pesantren tersebut.


Seiring berkembangnya zaman dan juga kesadaran masyarakat akan pendidikan yang tidak hanya mengandalkan ilmu sains akan tetapi juga dibarengi dengan ilmu agama maka banyak masyarakat yang memilih menyekolahkan anggota keluarganya kepada sekolah yang berbasis pesantren tentu ini merupakan suatu hal positif, tetapi di samping hal itu kebutuhan akan tempat tinggal yang layak dan pangan yang jumlahnya tidak sedikit tentu menjadi tantangan juga bagi pondok pesantren agar bisa memenuhi kebutuhan tersebut tanpa bergantung kepada pihak yang lain.


Oleh karena itu isu kemandirian ekonomi pesantren gencar dilakukan akhir-akhir ini dan sangat pesat pertumbuhan pesantren yang orientasinya bukan hanya sebagai tempat belajar mengajar akan tetapi juga sebagai tempat perputaran ekonomi baik dalam skala kecil lingkungan pesantren ataupun berbaur dengan masyarakat bahkan menjadi ladang bisnis yang dapat memajukan ekonomi masyarakat dalam skala besar.


Pesantren sendiri sebenarnya jika dikelola secara baik maka tentu mempunyai peluang dalam ranah bisnis, seperti pada beberapa pesantren misalnya, terdapat koperasi yang menyediakan berbagai kebutuhan Santri dan juga pakaian muslim atau butik bagi muslimah dan juga beberapa usaha lainnya yang dapat menambah pemasukan untuk membiayai operasional Pesantren tersebut, itu hanyalah contoh kecil dari lingkungan pesantren yang mempunyai prospek dalam ranah bisnis tentu jika ingin dikelola lebih baik lagi bukan tidak menutup kemungkinan dengan seluruh jumlah pesantren di Indonesia tentu dapat menjadi kekuatan besar dalam bidang ekonomi.


Akan tetapi Ustad Aliasyadi, pimpinan pondok pesantren anwarul Quran mengatakan “Sebenarnya gaya kemandirian ekonomi pesantren itu tergantung kepada profil pimpinan dari suatu pesantren. Jika latar belakang pimpinan Pesantren tersebut adalah pebisnis maka kemungkinan besar pesantren yang dipimpinnya itupun terjun dalam bidang bisnis akan tetapi di pondok ini -Pesantren anwarul Quran- belum melangkah sampai pada bidang tersebut karena Pada awal berdirinya pesantren ini memang fokus untuk pembinaan dalam pendidikan dan juga karena pimpinan pondok pesantren di sini tidak ada yang latar belakang pebisnis.”


Kemandirian ekonomi pesantren memang sangat penting dalam menunjang segala kegiatan yang ada di pondok pesantren akan tetapi fungsi dari pesantren sebagai media pendidikan tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu banyak juga pesantren yang tetap fokus kepada pembinaan pendidikan santri/siswa dengan memberikan peluang selut-luasnya kepada pihak lain untuk ikut andil dan membantu secara moril maupun materil kebutuhan pesantren sehingga manfaat Pesantren bisa dirasakan seluas-luasnya.


Pada akhirnya kemandirian ekonomi Pesantren sangat penting, karena dengan Mandiri secara ekonomi tentu Pesantren akan membangun infrastruktur dan membiayai biaya operasional dengan mudah sehingga dapat berdampak sangat positif bagi keberlangsungan pendidikan dalam Pesantren tersebut. Akan tetapi jika Pesantren belum Mandiri secara ekonomi maka Ini merupakan kesempatan bagi pihak-pihak lain yang ingin berkontribusi dalam memajukan Pesantren tersebut sehingga keberlangsungan pendidikan dalam penelitian tersebut tetap berjalan dan memberikan manfaat bagi umat.

• Hasil resensi yang dibawakan oleh Muh Lutfi Hamzah, Kibran dan Syamil serta tambahan penyampaian dari pembina pondok pesantren pada hari ahad 2 Juni 2024.

Meningkatkan Resiliensi Melalui Pelatihan Psikologi Positif

Di era serba instan saat ini, orang-orang terutama generasi remaja menuju dewasa dihadapkan pada persoalan mental, dimana tidak sedikit yang merasakan masalah psikologis akibat rendahnya tingkat resiliensi atau kemampuan seseorang dalam menghadapi tekanan. Usia tersebut adalah masa-masa dimana seseorang masih mencari jati diri, sangat rentan mengalami stres, gampang terbawa perasaan, serta mudah putus asa. Diibaratkan dengan stroberi yang indah tampak dari luar, tetapi kenyataannya mudah rapuh, maka disebutlah generasi stroberi.

Generasi stroberi akan merasakan ketakutan terhadap penilaian dan kritik dari orang lain ataupun takut dengan kegagalan. Kritikan seolah-olah dianggap sebagai masalah besar, hingga membuatnya terpuruk, tidak mampu mengendalikan diri, menunda-nunda pekerjaan, bahkan sampai membuatnya tidak mampu mengerjakan apapun. Berdasarkan fakta tersebut, salah satu pengasuh Pesantren Anwarul Qur’an yakni Ustazah Jusmiati, S.Psi, M.Psi., memaparkan lebih lanjut mengenai hal tersebut dalam kegiatan bedah artikel yang merupakan kegiatan rutin Ahad pagi di Pesantren Anwarul Qur’an Kota Palu.


Beliau mengulas sebuah artikel berjudul “Positive Psychology Online Training based on Islamic Value to Improve Student Resilience” yang ditulis oleh Dian Kusuma Hapsari, Usmi Karyani, dan Wisnu Hertinjung sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi di Universitas Muhammadiyah Surakarta. Beliau mengibaratkan bahwa orang yang tingkat resiliensinya kuat, ketika ia dilempar, ia akan tetap kembali. Dalam artian seseorang akan mampu bangkit meskipun telah ditimpa berbagai macam masalah yang datang silih berganti. Resiliensi ini dapat disamakan dengan tangguh, dan untuk menjadi orang yang tangguh tidak mungkin tanpa adanya ujian terlebih dahulu. Seseorang mesti diuji dan berusaha mengatasi masalah tersebut, mampu bertahan hingga menemukan titik penyelesaiannya.


Kegiatan bedah artikel pada hari Ahad, 30 Juni 2024 berjalan dengan lancar, para santri menyimak penjelasan Ustazah Jusmiati dengan baik. Artikel yang dibahas merupakan tulisan yang disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan dalam rangka mengintegrasikan antara psikologi positif dan pendekatan Islam. Psikologi positif membahas tentang karakter seseorang dan institiusi (lingkungan) yang positif. Kita butuh lingkungan yang kondusif dengan diri yang kondusif untuk membentuk kondisi psikologis yang baik.


Penelitian pada artikel tersebut diperoleh dari pelatihan psikologi positif secara online berbasis nilai-nilai Islam. Pelatihan tersebut ditujukan untuk meningkatkan emosi positif dan kebermaknaan hidup terhadap para peserta. Adapun pendekatan Islam yang digunakan karena agama diyakini memiliki peran penting dalam mencegah gangguan mental maupun fisik pada seseorang. Penulis artikel tidak setuju dengan pandangan bahwa kegiatan yang dilaksanakan secara online tidak akan berjalan efektif, sebaliknya penulis mengungkapkan bahwa justru dengan pemanfaatan media online dapat menjadi solusi yang tepat di era sekarang dalam berbagai hal, seperti pelatihan psikologi online yang bisa membantu siswa ataupun mahasiswa untuk meningkatkan resiliensi dan mampu menghadapi tantangan masa depan meskipun dari jarak jauh.


Adapun berlangsungnya penelitian tersebut, yakni diawali dengan penyebaran infromasi ke media-media sosial, peserta yang mendaftar kemudian diseleksi hingga terpilih 10 peserta yang merupakan mahasiswa, 9 orang perempuan dan 1 orang laki-laki. Sesuai pada metode yang digunakan yaitu metode quasi eksperimen, peserta yang menjadi subjek penelitian adalah peserta tetap, tidak dirandom. Peserta pada mulanya diberi pre-test, kemudian diberikan pelatihan, dan diakhiri dengan post-test. Pelatihan dibagi dalam enam sesi.


Sesi pertama, gunakan kekuatanmu. Sebagaimana QS. At-Tin: 4 “Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia alam bentuk sebaik-baiknya.” Emosi positif yang diharapkan yakni peserta menyadari bahwa Allah Swt. telah menganugerahkan yang terbaik untuk kita, maka kita sudah semestinya memanfaatkan dengan maksimal. Misalnya tidak menunda-nunda pekerjaan, membuat jadwal harian, membantu orang lain, menggali potensi, dan meningkatkan kualitas diri.
Sesi kedua, keberkahan. Sebagaimana QS. Ibrahim : 7, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat”. Ketika kita bersyukur dengan apa yang kita alami dan kita miliki, maka Allah akan memberkahi kita dengan menambah nikmat-nikmat yang lain.


Peserta dilatih untuk meningkatkan emosi positif dengan menulis dan menafsirkan peristiwa-persitiwa positif yang didapatkan seharian, meskipun dari hal-hal sederhana yang terkadang kita abai dalam mesyukurinya, seperti bersyukur karena masih bisa bangun lebih awal tanpa menggunakan alarm, bersyukur saat mendapatkan uang jajan. Misalnya dari uang jajan itu sebagian disisihkan untuk sedekah sebagai bentuk rasa syukur. Kalau menurut kalkulator manusia, tentu uang kita akan berkurang, tetapi menurut kalkulator Allah, kita justru menambahnya berkali-kali lipat.


Sesi ketiga, menikmati kedamaian. Sebagaimana QS: Ali-Imran 190-191 “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang berakal; (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka.”


Para peserta seakan-akan diajak untuk melakukan meditasi, menikmati keheningan, merenung, berpikir, menghayati, hingga mampu memetik hikmah atas peristiwa yang ada di alam semeseta. Pada sesi ini, para peserta diharapkan mampu mendekatkan diri kepada Allah berdasarkan kedamaian batin yang dirasakannya.


Sesi keempat, rasa Syukur. Sebagaimana Hadits Sunan Tirmidzi No. 1877 dan Sunan Abu daud No. 4179. Sesi ini akan mencoba mengalihkan para peserta yang kiranya memiliki hubungan buruk dengan orang lain agar mampu memperbaiki hubungan tersebut, lebih menghargai kehadiran orang-orang sekitar, seperti keluarga dan teman. Sehingga peserta menyadari bahwa dalam hidup kita juga sangat membutuhkan dukungan dari masyarakat.


Sesi kelima, komunikasi yang efektif. Selaras dengan perkataan Ibnu Fajar bahwa Allah memerintahkan kepada manusia unntuk menghindari ucapan-ucapan buruk yang didengarkan, dikatakan, serta yang dapat melukai perasaan orang lain. Peserta diminta untuk menulis ringkasan percakapannya sehari-hari yang menerapkan komunikasi efektif ini, seperti memberikan motivasi kepada adik agar tambah semangat dalam belajar.


Sesi terakhir, biografi. Berdasarkan surah Adz-Dzariyat: 56. “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” Di tahap ini, peserta akan menentukan tujuan dan rencana hidupnya. Kehidupan yang dimaksud yaitu kehidupan yang bermakna, yakni beribadah kepada Allah dan senantiasa berada dalam ketataan. Sebagaimana Allah memerintahkan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi, sehingga tugas kita adalah memakmurkan bumi ini dan menebarkan manfaat.


Penulis artikel menyimpulkan bahwa pelatihan psikologi positif online berbasis nilai-nilai Islam memberikan pengaruh dalam meningkatkan resiliensi mahasiswa. Pelatihan seperti itu dapat menjadi upaya pencegahan dan penanganan yang berkaitan dengan kesehatan mental. Pelatihan psikologi positif tidak hanya ditujukan agar kita mengenali orang lain, tetapi yang tidak kalah penting adalah kita mengenali diri sendiri, mengetahui kelebihan kita untuk dikembangkan, mengetahui kekurangan untuk evaluasi diri dan memperbaikinya, mengetahui tujuan dari apa yang kita lakukan untuk melatih diri berpikir runtut, baik, dan kritis.


Mengapa penting mengenali diri sendiri? Karena kita tidak akan menemukan makna hidup yang sejatinya kalau diri kita saja masih belum selesai dengan urusannya. Jangan hidup sekadarnya, hiduplah dan tebar manfaat, nikmati proses. Sebagaimana motto belajar santri Anwarul Qur’an, “Tidak apa-apa dikalah pintar, tapi jangan mau dikalah tekun. Dan lebih baik lagi, kalau dapat dua-duanya.” Ketekunan tidak lahir karena keturunan, melainkan harus dilatih, dibentuk, supaya melekat pada diri kita.


Sebelum munculnya penelitian dalam artikel tersebut, secara praktiknya Pesantren Anwarul Qur’an sudah jauh lebih dulu menerapkannya. Dimana satu atau dua kali dalam seminggu, pengajian ba’da maghrib di Pesantren ini diisi dengan kajian Psikologi Positif. Santri diajarkan langsung oleh Ustadzah Jusmiati, seperti cara relaksasi, bersyukur, memaafkan, dan kajian lainnya yang mampu memberikan efek dalam menjaga kesehatan mental para santri.


*Materi ini disampaikan oleh Ustadzah Jusmiati S.Psi., M.Psi. dalam kegiatan rutin bedah artikel pada hari Ahad, 30 Juni 2024.

Gerakan Anti Mazhab

Kata ‘mazhab’ sudah tidak asing lagi bagi masyarakat secara umum. Mazhab dapat diartikan sebagai hasil pendapat dan pemikiran para Ulama yang menjadi salah satu sumber hukum bagi Umat Islam dalam menempuh jalan yang diridai Allah. Mazhab bukanlah kelompok yang menjadikannya harus diperdebatkan, melainkan lebih tepat diartikan sebagai pilihan sesuai pada ketentuannya.

Pimpinan Pesantren Anwarul Qur’an Kota Palu, KH. Aliasyadi Lc., MA. mengatakan bahwa dahulu sebelum Rasulullah Saw. wafat, para sahabat merujuk langsung pada Al-Qur’an berupa wahyu yang disampaikan, sedangkan ketika sahabat mempunyai permasalahan, mereka dapat langsung bertanya dan mendapat jawaban dari Nabi. Disinilah letak perbedaan awal, tatkala sahabat memahami perkataan atau perbuatan Nabi, bisa saja berbeda pula yang ditangkap.

Contohnya ketika suatu hari Nabi sedang sa’i dengan berlari-lari, sahabat berbeda pendapat dalam memahaminya. Ketika haji berikutnya, sebagian sahabat melakukan sa’i dengan berlari-lari karena menganggapnya sebagai sunnah sebagaimana yang Nabi praktikkan pada sa’i sebelumnya. Sebagiannya lagi memilih tidak berlari-lari karena memandang bahwa yang Nabi lakukan itu hanyalah disebabkan situasi yang mendesaknya, yakni karena ketika itu ada orang-orang musyrik.

Para sahabat yang telah mendengarkan ataupun melihat apa yang Nabi lakukan semasa hidupnya, kemudian terbagi-bagi ke berbagai wilayah. Mereka akan bertemu orang-orang yang tidak mengerti tentang Al-Qur’an dan Hadis, mereka lah yang akan menjelaskan sesuai pada apa yang dipahaminya dari Nabi, berlanjut hingga para tabi’in. Setelah wafatnya para tabi’in, orang-orang akan merujuk kepada para Ulama di masanya. Para Ulama tersebut telah mengabdikan dirinya untuk belajar agama, menuntut ilmu hingga berpuluh-puluh tahun. Mereka disebut Mujtahid, orang-orang yang pintar, menguasai Al-Qur’an dan Hadis.

Ketika masa sahabat, tidak ada pembukuan terhadap apa yang diperoleh para sahabat dari Nabi, semua hanya mengandalkan hafalan. Beda halnya dengan masa mujtahid, para murid akan mencatat hadis-hadis dan pendapat dari Ulama, kemudian dibukukan. Seperti ketika para murid Imam Malik mengajar, muridnya akan mencatatnya. Kelompok yang mempelajarinya kemudian disebut Mazhab Maliki. Begitu pula Imam Syafi’i yang belajar kepada Imam Malik, karena ketekunannya dalam belajar, beliau dapat mencapai level ilmu untuk menjadi mujtahid. Beliau tidak perlu lagi mengikuti mazhab tersebut, karena beliau dapat merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan Hadis.

Banyak dari murid Imam Syafi’i secara level ilmu sudah bisa memenuhi syarat mujtahid, tetapi karena sifat rendah hatinya, mereka tetap berpegang pada mazhab gurunya. Sebelum mazhab empat Imam besar yang berpegang teguh pada Ahlusunnah wal Jama’ah dan diakui saat ini, ada banyak mazhab lainnya, namun tidak mampu bertahan.

Dewasa ini sebuah istilah gerakan yang cukup kontroversi muncul ditengah masyarakat, dikenal dengan gerakan anti mazhab. Meskipun secara historis gerakan-gerakaan seperti ini sudah ada sejak lama, namun baru dikembangkan istilahnya belum lama ini. Dari kata anti mazhab tersebut dapat dipahami bahwa kelompok ini menolak dengan adanya mazhab. Secara lebih spesifiknya, gerakan anti mazhab adalah orang-orang yang memiliki prinsip bahwa sebagai umat Islam kita harus merujuk pada Al-Qur’an dan Hadis, tidak ada sumber hukum Islam selain keduanya.

Gerakan anti mazhab hanya memahami hukum dengan berpatokan pada teks semata. Orang-orang yang awam terhadap keniscyaan Islam, bisa dengan mudahnya menilai bahwa prinsip tersebut adalah hal yang benar, mereka akan cenderung setuju pada pemahaman tersebut. Akan tetapi, bagaimana seseorang bisa kembali kepada dua rujukan utama tersebut tanpa adanya orang yang mengarahkan atau menjadi panutan?

Orang yang memilih anti mazhab tidak selamanya karena alasan ketidaksetujuannya pada mazhab yang ada, bisa saja mereka tertipu pada slogan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Slogan ini pada sadarnya sangat bagus dan memang hal yang benar, akan tetapi untuk mencapai tahap tersebut kita butuh perantara. Kita tidak boleh bersikap tertutup, menafikan tafsir, ijtihad dan mazhab para Ulama. Gerakan anti mazhab tidak mau berpatokan pada empat mazhab utama, mereka ingin pada alirannya sendiri.

Lucunya, diantara mereka yang menolak untuk bermazhab justru sangat fanatik pada guru atau tokoh tertentu. Mereka pada awalnya berdalih bahwa pendapat mazhab itu hanyalah pandangan para Ulama yang akan menjauhkan seseorang dari Al-Qur’an dan Hadis, namun di sisi lain ia sangat mengkultuskan gurunya.

Salah satu tokoh pencetus gerakan ini yaitu Ibnu Taimiyah. Menurutnya logika tidak boleh menjadi dasar dalam berijtihad, melainkan kita harus tunduk secara keseluruhan kepada nash Al-Qur’an dan Hadis, sehingga beliau menolak untuk berpedoman pada mazhab tertentu. Pemikirannya tersebut kemudian disusul oleh Ulama Salafi Wahabi berikutnya. Para penggerak anti mazhab tersebut sebenarnya telah belajar dari guru-gurunya yang bermazhab, akan tetapi mereka memilih pandangannya sendiri dan membentuk aliran baru.

Kehadiran gerakan anti mazhab menjadi sorotan karena tidak sesuai pada alasan yang mendasarinya. Padahal salah satu fungsi mazhab adalah untuk mengetahui bagaimana cara Rasulullah Saw. menjalankan agama berdasarkan pandangan dari para Alim Ulama. Mengapa harus melalui Ulama? Karena ulama adalah pewaris para Rasul. Ibaratnya membuka kulit durian tanpa menggunaakan pisau, pastinya akan sangat kesulitan, membuat terluka bahkan menjadi hal yang mustahil. Sama kasusnya jika orang menolak menggunakan mazhab dalam menjalankan agama, ia akan mempersulit dirinya sendiri. Karena untuk sampai pada rujukan utama tersebut bukanlah perkara yang mudah, semua butuh proses panjang dan syarat-syarat tertentu.

Kita yang belum bisa mencapai level mujtahid, ada tiga metode yang dapat kita lakukan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Pertama, metode qauli. Kita bisa mencari referensi dari kitab kuning. Kedua, metode ilhaqi. Pada metode ini seseorang dapat meng-qiyas¬-kan suatu masalah yang tidak dijawab pada kitab-kitab terdahulu dengan masalah serupa yang sudah dijawab pada kitab-kitab para Ulama. Ketiga, metode manhaji. Metode ini dilakukan dengan mengikuti arah pemikiran dan kaidah penentuan hukum yang telah disusun oleh para Imam Mazhab.

Secara logikanya, pantaskah jika orang yang ilmu agamanya masih sangat minim, bahasa arab dasar saja tidak tahu, ibadah pun belum terjaga dengan baik, kemudian dipaksakan langsung merujuk hukum dari Al-Qur’an dan Hadis? Sangat tidak mungkin, kapasitas kita masih sangat jauh untuk hal tersebut. Disinilah peran Ulama sebagai sarana rujukan kita dalam memahami Al-Qur’an dan Hadis. Seperti halnnya pasien yang percaya pada Dokter yang memeriksanya, begitupula kita harus yakin pada pendapat ulama tertentu dalam menjalankan agama sebagai jalan kita menuju keridaan Allah Swt.

*Materi tersebut disampaikan dalam kegiatan bedah artikel mingguan di Pesantren Anwarul Qur’an Kota Palu, tanggal 09 Juni 2024 oleh Siti Imanatul Amini dan Nurhalima serta penguatan dari para Pembina Pesantren.

Gerakan Anti Mazhab

Kata ‘mazhab’ sudah tidak asing lagi bagi masyarakat secara umum. Mazhab dapat diartikan sebagai hasil pendapat dan pemikiran para Ulama yang menjadi salah satu sumber hukum bagi Umat Islam dalam menempuh jalan yang diridai Allah. Mazhab bukanlah kelompok yang menjadikannya harus diperdebatkan, melainkan lebih tepat diartikan sebagai pilihan sesuai pada ketentuannya.

Pimpinan Pesantren Anwarul Qur’an Kota Palu, KH. Aliasyadi Lc., MA. mengatakan bahwa dahulu sebelum Rasulullah Saw. wafat, para sahabat merujuk langsung pada Al-Qur’an berupa wahyu yang disampaikan, sedangkan ketika sahabat mempunyai permasalahan, mereka dapat langsung bertanya dan mendapat jawaban dari Nabi. Disinilah letak perbedaan awal, tatkala sahabat memahami perkataan atau perbuatan Nabi, bisa saja berbeda pula yang ditangkap.

Contohnya ketika suatu hari Nabi sedang sa’i dengan berlari-lari, sahabat berbeda pendapat dalam memahaminya. Ketika haji berikutnya, sebagian sahabat melakukan sa’i dengan berlari-lari karena menganggapnya sebagai sunnah sebagaimana yang Nabi praktikkan pada sa’i sebelumnya. Sebagiannya lagi memilih tidak berlari-lari karena memandang bahwa yang Nabi lakukan itu hanyalah disebabkan situasi yang mendesaknya, yakni karena ketika itu ada orang-orang musyrik.

Para sahabat yang telah mendengarkan ataupun melihat apa yang Nabi lakukan semasa hidupnya, kemudian terbagi-bagi ke berbagai wilayah. Mereka akan bertemu orang-orang yang tidak mengerti tentang Al-Qur’an dan Hadis, mereka lah yang akan menjelaskan sesuai pada apa yang dipahaminya dari Nabi, berlanjut hingga para tabi’in. Setelah wafatnya para tabi’in, orang-orang akan merujuk kepada para Ulama di masanya. Para Ulama tersebut telah mengabdikan dirinya untuk belajar agama, menuntut ilmu hingga berpuluh-puluh tahun. Mereka disebut Mujtahid, orang-orang yang pintar, menguasai Al-Qur’an dan Hadis.

Ketika masa sahabat, tidak ada pembukuan terhadap apa yang diperoleh para sahabat dari Nabi, semua hanya mengandalkan hafalan. Beda halnya dengan masa mujtahid, para murid akan mencatat hadis-hadis dan pendapat dari Ulama, kemudian dibukukan. Seperti ketika para murid Imam Malik mengajar, muridnya akan mencatatnya. Kelompok yang mempelajarinya kemudian disebut Mazhab Maliki. Begitu pula Imam Syafi’i yang belajar kepada Imam Malik, karena ketekunannya dalam belajar, beliau dapat mencapai level ilmu untuk menjadi mujtahid. Beliau tidak perlu lagi mengikuti mazhab tersebut, karena beliau dapat merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan Hadis.

Banyak dari murid Imam Syafi’i secara level ilmu sudah bisa memenuhi syarat mujtahid, tetapi karena sifat rendah hatinya, mereka tetap berpegang pada mazhab gurunya. Sebelum mazhab empat Imam besar yang berpegang teguh pada Ahlusunnah wal Jama’ah dan diakui saat ini, ada banyak mazhab lainnya, namun tidak mampu bertahan.

Dewasa ini sebuah istilah gerakan yang cukup kontroversi muncul ditengah masyarakat, dikenal dengan gerakan anti mazhab. Meskipun secara historis gerakan-gerakaan seperti ini sudah ada sejak lama, namun baru dikembangkan istilahnya belum lama ini. Dari kata anti mazhab tersebut dapat dipahami bahwa kelompok ini menolak dengan adanya mazhab. Secara lebih spesifiknya, gerakan anti mazhab adalah orang-orang yang memiliki prinsip bahwa sebagai umat Islam kita harus merujuk pada Al-Qur’an dan Hadis, tidak ada sumber hukum Islam selain keduanya.

Gerakan anti mazhab hanya memahami hukum dengan berpatokan pada teks semata. Orang-orang yang awam terhadap keniscyaan Islam, bisa dengan mudahnya menilai bahwa prinsip tersebut adalah hal yang benar, mereka akan cenderung setuju pada pemahaman tersebut. Akan tetapi, bagaimana seseorang bisa kembali kepada dua rujukan utama tersebut tanpa adanya orang yang mengarahkan atau menjadi panutan?

Orang yang memilih anti mazhab tidak selamanya karena alasan ketidaksetujuannya pada mazhab yang ada, bisa saja mereka tertipu pada slogan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Slogan ini pada sadarnya sangat bagus dan memang hal yang benar, akan tetapi untuk mencapai tahap tersebut kita butuh perantara. Kita tidak boleh bersikap tertutup, menafikan tafsir, ijtihad dan mazhab para Ulama. Gerakan anti mazhab tidak mau berpatokan pada empat mazhab utama, mereka ingin pada alirannya sendiri.

Lucunya, diantara mereka yang menolak untuk bermazhab justru sangat fanatik pada guru atau tokoh tertentu. Mereka pada awalnya berdalih bahwa pendapat mazhab itu hanyalah pandangan para Ulama yang akan menjauhkan seseorang dari Al-Qur’an dan Hadis, namun di sisi lain ia sangat mengkultuskan gurunya.

Salah satu tokoh pencetus gerakan ini yaitu Ibnu Taimiyah. Menurutnya logika tidak boleh menjadi dasar dalam berijtihad, melainkan kita harus tunduk secara keseluruhan kepada nash Al-Qur’an dan Hadis, sehingga beliau menolak untuk berpedoman pada mazhab tertentu. Pemikirannya tersebut kemudian disusul oleh Ulama Salafi Wahabi berikutnya. Para penggerak anti mazhab tersebut sebenarnya telah belajar dari guru-gurunya yang bermazhab, akan tetapi mereka memilih pandangannya sendiri dan membentuk aliran baru.

Kehadiran gerakan anti mazhab menjadi sorotan karena tidak sesuai pada alasan yang mendasarinya. Padahal salah satu fungsi mazhab adalah untuk mengetahui bagaimana cara Rasulullah Saw. menjalankan agama berdasarkan pandangan dari para Alim Ulama. Mengapa harus melalui Ulama? Karena ulama adalah pewaris para Rasul. Ibaratnya membuka kulit durian tanpa menggunaakan pisau, pastinya akan sangat kesulitan, membuat terluka bahkan menjadi hal yang mustahil. Sama kasusnya jika orang menolak menggunakan mazhab dalam menjalankan agama, ia akan mempersulit dirinya sendiri. Karena untuk sampai pada rujukan utama tersebut bukanlah perkara yang mudah, semua butuh proses panjang dan syarat-syarat tertentu.

Kita yang belum bisa mencapai level mujtahid, ada tiga metode yang dapat kita lakukan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Pertama, metode qauli. Kita bisa mencari referensi dari kitab kuning. Kedua, metode ilhaqi. Pada metode ini seseorang dapat meng-qiyas¬-kan suatu masalah yang tidak dijawab pada kitab-kitab terdahulu dengan masalah serupa yang sudah dijawab pada kitab-kitab para Ulama. Ketiga, metode manhaji. Metode ini dilakukan dengan mengikuti arah pemikiran dan kaidah penentuan hukum yang telah disusun oleh para Imam Mazhab.

Secara logikanya, pantaskah jika orang yang ilmu agamanya masih sangat minim, bahasa arab dasar saja tidak tahu, ibadah pun belum terjaga dengan baik, kemudian dipaksakan langsung merujuk hukum dari Al-Qur’an dan Hadis? Sangat tidak mungkin, kapasitas kita masih sangat jauh untuk hal tersebut. Disinilah peran Ulama sebagai sarana rujukan kita dalam memahami Al-Qur’an dan Hadis. Seperti halnnya pasien yang percaya pada Dokter yang memeriksanya, begitupula kita harus yakin pada pendapat ulama tertentu dalam menjalankan agama sebagai jalan kita menuju keridaan Allah Swt.

*Materi tersebut disampaikan dalam kegiatan bedah artikel mingguan di Pesantren Anwarul Qur’an Kota Palu, tanggal 09 Juni 2024 oleh Siti Imanatul Amini dan Nurhaliza serta penguatan dari para Pembina Pesantren.

FIKIH MINORITAS, SOLUSI BERISLAM DI NEGARA MAYORITAS NON MUSLIM

Fikih minoritas menjadi perbincangan serius dalam kegiatan rutin beda artikel di Pesantren Anwarul Qur’an Kota Palu. Tepat pada hari Ahad, 12 Mei 2024 tema ini disampaikan oleh dua pemateri. Masing-masing membahas isu utama dengan pendekatan yang berbeda-beda. Tema ini cukup mendalam. Perlu penguasaan dan ketajaman analisa. Inilah yang spesial dari Pesantren Anwartul Qur’an Kota Palu. Tradisi keilmuan bukan hanya disalurkan melalui pengajian kitab, tapi juga disalurkan melalui diskusi, dialogis yang merupakan tonggak lahirnya tradisi keilmuan

Fikih sebagai salah satu produk hukum Islam dituntut selalu aktual untuk menjadi solusi keagamaan bagi masyarakat. Hal ini mengharuskan para ulama memiliki kreatifitas yang tinggi agar aktualisasi hukum Islam tersebut dapat terwujud dengan sempurna di era  kontemporer saat ini.

Salah satu tema yang sering menjadi objek ijtihad dan aktualisasi hukum Islam akhir-akhir ini adalah fikih minoritas (fiqh al-aqaliyyaat). Secara bahasa, fikih minoritas adalah fikih yang membahas hukum-hukum terkait dengan kehidupan masyarakat Muslim sebagai warga minoritas di daerah yang mayoritas penduduknya adalah nom-muslim.

Izan Mandola selaku presenter pada diskusi kali ini menjelaskan bahwa kehadiran fikih minoritas ini sejatinya berawal dari akumulasi kegelisahan masyarakat minoritas Muslim di Dunia Barat ketika harus melakukan sesuatu yang berkaitan dengan keagamaan mereka. di satu sisi lanjut Izan, mereka harus taat pada ajaran agama yang diyakini sempurna, sementara di sisi lain ada ketidaksesuaian antara ketentuan-ketentuan fikih klasik yang mereka fahami dengan realitas sosial budaya di tempat mereka tinggal.

Termasuk masalah sosial-budaya mengakibatkan munculnya problematika hukum Islam bagi masyarakat minoritas muslim. Mereka sering merasa kesulitan ketika akan menjalankan ibadah dan kegiatan keagamaannya karena perbedaan social-budaya antara Negara tempat mereka berasal dengan Negara Barat yang mereka tempati saat ini. Khususnya bagi warga imigran, mayoritas hukum Islam yang mereka ikuti masih merupakan representasi dari kultur social dan politik tempat mereka berasal dan hal ini sangat berbeda dengan kultur Negara yang mereka tempati saat ini, demikian Izan Mandola menjelaskan.

Banyaknya masalah yang kian terus bertambah menjadikan sebagian ulama melarang seorang muslim tinggal di Negara-negara non muslim karena mempertimbangkan mudharatnya. Namun Akbar Raihan Zaky selaku presenter menjelaskan dengan mengutip pendapat Prof. Dr Mufli Assyahri bahwa ada juga ulama yang membolehkan dengan ketentuan-ketentuan yang harus ditegakkan seperti; tetap terjaganya agama, harta, kehormatan seorang muslim, dan kemampuan untuk menjaga syariat.

Selanjutnya KH. Aliasyadi selaku pimpinan pesantren juga ikut serta memberikan komentar terkait dengan fikih minoritas. Menurutnya, hukum yang berlaku di Negara Muslim dengan Negara Non-Muslim memiliki perbedaan dalam penetapan hukum karena situasi dan kondisi sosialnya yang berbeda. Seperti halnya hukum shalat jum’at. Di Negara-negara mayoritas muslim mewajibkan masyarakatnya shalat di masjid. Bahkan seperti Negara Arab Saudi mempunyai aturan tersendiri dalam menghukum masyarakatnya yang tidak melaksanakan shalat juma’at dimasjid. Hal ini terjadi karena seluruh warga negaranya adalah muslim begitu juga hukum pemerintahannya menggunakan hukum Islam, maka tidak ada yang dapat memprotes terhadap kebijakan pemerintah.

Berbeda dengan Negara Islam mayoritas akan tetapi system pemerintahannya menggunakan system demokrasi bukan monarki Islam sebagaimana yang terjadi di Saudi Arabiah. Maka penetapan hukum tentu berbeda. Inilah yang disebut hukum itu harus sesuai dengan situasi dan kondisi dimana hukum itu berlaku.

Selanjutnya, perbedaan situasi dan kondisi dalam menetapkan hukum khususnya di Negara mayoritas non-muslim, mengharuskan adanya ulama atau majelis fatwa yang terbentuk di wilayah minoritas muslim untuk membahas hukum yang sesuai dengan situasi dan kondisi daerah tersebut.

Perlu diperhatikan bahwa tidak semua hukum Islam harus mengikuti budaya atau aturan yang ada di wilayah minoritas Islam tanpa memperhatikan prinsip-prinsip utama hukum Islam itu sendiri. KH. Aliasyadi menjelaskan bahwa agama ini ada hal-hal yang bisa berubah (Furuiyyah) dan ada hal-hal tidak bisa berubah (Ushuliyyah). Seperti masalah Ushuliyyah, mulai dari ketentuan rakaat shalat, waktu pelaksanaan haji, batas aurat dll itu semua adalah bagian fundamental yang tidak bisa berubah dalam agama. Meskipun demikian, lanjut KH. Aliasyadi bahwa hukum menutup aurat itu wajib namun cara menutupnya itu yang berbeda-beda tergantung budaya sosial masyarakat setempat. Hal ini sesuai dengan kaedah yang mengatakan Al-‘Adatu Muhakkamah adat atau tradisi yang dijadikan landasan hukum.

Dengan demikian kehadiran Ulama dalam proses penetapan hukum di wilayah-wilayah minoritas menjadi sangat penting, sehingga dapat mencegah terjadinya kesalahfahaman hukum khususnya orang yang belum memahami agama atau masih perlu bimbingan dari ulama.

KH Aliasyadi menutup dengan mengajak para santri agar selalu semangat dalam belajar khususnya pada bidang hukum atau fikih agar nantinya para santri mampu beradaptasi dengan masalah-masalah fikih kontemporer yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, sekaligus mengembalikan redupnya etos keilmuan di kalangan ummat Islam hari ini.

Materi tersebut disampaikan dalam kegiatan bedah artikel mingguan di Pesantren Anwarul Qur’an Kota Palu, tanggal 12 Mei 2024 oleh Akbar Raihan Zaky dan Izan Mandola serta penguatan dari para Pembina Pesantren

STUDI ORIENTALIS TERHADAP ISLAM

Istilah orientalis berasal dari bahasa Prancis dari kata “orient” berarti Timur. Sedangkan orientalisme adalah gerakan atau faham yang berhubungan dengan bangsa-bangsa di Timur dan lingkungannya. Adapun orientalis merupakan sarjana-sarjana Barat yang non-Islam dan mempelajari seputar dunia Timur. Dunia Timur yang dimaksud yakni wilayah-wilayah yang ada di Timur dekat (seperti Turki), Timur tengah (seperti Afganistan sampai perbatasan Cina), dan Timur jauh (seperti Indonesia).

Para orientalis mempelajari semua dunia timur tersebut, tidak sekadar belajar tentang Islam. Diantara mereka ada yang berfokus mempelajari budaya, bahasa, hingga pada agama-agamanya. Hanya saja kajian yang paling yang paling banyak dibahas adalah Islam itu sendiri. Penyebaran Islam yang begitu pesat menimbulkan kekhawatiran orang-orang Barat akan tergesernya eksistensi suku, bahasa, maupun agama di daerah mereka. Sebagian orang Barat juga memiliki stigma buruk terhadap Islam. Hal ini tidak terlepas dikarenakan banyaknya serangan yang mengatasnamakan Islam, seperti kasus-kasus teroris.

Ustadz Aliasyadi Lc.,MA. dalam kegiatan resensi artikel, pada hari Ahad 05 Mei 2024  mengatakan bahwa secara garis besar ada tiga tujuan yang melandasi para orientalis melakukan kajian mendalam tentang Islam. Pertama, mencari keburukan atau kekurangan Islam dengan tujuan ingin memperkenalkan Islam sebagai agama yang tidak baik, seperti berlaku tidak adil kepada wanita, agama teroris dan menyukai peperangan. Padahal dalam Al-Qur’an sama sekali tidak ada kata pedang, pisau, bom atom ataupun senjata lainnya.  Semua itu hanya bentuk propaganda mereka.

Seperti Ignatz Goldziher yang menyatakan bahwa banyak periwayatan dari Abu Hurairah adalah riwayat yang meragukan, karena beliau hanya mendapatkan kesempatan belajar bersama Nabi Muhammad Saw. kurang lebih lima tahun. Padahal waktu yang singkat itulah yang membuat Abu Hurairah betul-betul memfokuskan belajar kepada Nabi hingga mampu meriwayatkan lebih dari 5.000 hadis.

Kedua, para orientalis yang belajar Islam dan juga aspek-aspek lainnya untuk tujuan tertentu. Bukan karena ingin menjelek-jelekkan Islam, melainkan mencari kelemahannya. Mereka cenderung menggunakan cara halus dalam menjalankan misi tersebut. Mereka berusaha mengenali Islam secara mendalam, sehingga mampu menemukan sisi kelemahan dari Umat Islam. Sebagaimana yang dilakukan oleh Christian Snouck Hurgronje. Ia belajar tentang Islam dalam waktu yang lama dan mempelajarinya secara mendalam, bahkan dikatakan bahwa ia sempat masuk Islam dan diganti namanya menjadi Abdul Ghofur.

Ia adalah orang yang telah membantu Belanda dalam menyusun taktik jahat demi menaklukkan kerajaan Aceh yang dikenal sangat kuat jiwa jihadnya. Setelah ia hidup bersama masyarakat Aceh dan mendapatkan banyak informasi, ia kemudian merumuskan cara untuk menjatuthkan kerajaan tersebut dengan menghantam kaum Ulamanya. Begitupula yang terjadi pada Kerajaan Bone yang berhasil ditaklukkan dengan menggunakan opium.

Ketiga, murni karena ingin belajar tentang Islam. Orientalis dengan tujuan ini sama sekali tidak ingin menjelek-jelekkan Islam, mereka hanya akan menjelaskan Islam sebagaimana yang ada dan telah dipelajarinya. Seperti yang dilakukan oleh Karen Amstrong (Inggris) dalam mengkaji sejarah Nabi dan Annemarie (Prancis) yang banyak membawa pengaruh dalam studi Islam dan tasawuf. Begitupun Joseph Schacht yang merupakan orientalis pertama yang melakukan kajian hadis dengan karya fenomenalnya The Origins of Muhammadan Jurisprudence mengenai hadis Nabawi yang menuai kontroversi.

Kajian orientalis ini dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi umat Islam, diikarenakan orientalis terbagi lagi dalam orientalis ekstrim dan orientalis moderat. Orientalis yang memberikan pemahaman bahwa Islam adalah agama yang ekstrim dapat menimbulkan propaganda serta menjadi ancaman dan tantangan. Inilah orientalis yang perlu kita hindari pemikirannya. Sedangkan orientalis yang memperkenalkan Islam sebagai agama yang moderat dapat menjadi kabar baik dan membantu penyebaran Islam yang lebih signifikan.

Terkait boleh tidaknya kita merujuk pada pemikiran orientalis, Ustadz Aliasyadi mengatakan bahwa ketika pemikiran atau pandangan orientalis tersebut dapat memberikan manfaat kepada kita, maka tidak masalah untuk kita ambil. Seperti AJ. Wensinck yang menulis kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāzh al-Hadīth al-Nabawi. Kitab ini seringkali menjadi rujukan terlebih di kalangan mahasiswa yang berkonsentrasi dalam kajian Hadis, kitab tersebut memudahkan dalam melacak hadis.

Selain orientalisme, ada pula istilah khusus untuk orang-orang yang mempelajari dunia Barat, dikenal dengan ‘Oksidentalisme’, meskipun tidak sepopuler kajian mengenai orientalisme. Ustadz Aliasyadi menutup kegiatan resensi artikel pagi hari itu dengan berpesan kepada para santrinya, “Tirulah semangat dari para orientalis, meskipun mereka bukan muslim, tapi mereka mau menghabiskan waktu, pikiran, dan harta untuk mempelajari Islam. Maka kita sebagai umat Islam harus jauh lebih semangat lagi daripada mereka dalam hal menuntut ilmu, jangan mau kalah dari mereka.”

*Materi ini disampaikan dalam kegiatan resensi artikel mingguan di Pondok Pesantren Anwarul Qur’an Kota Palu oleh Muh. Fathul Rahmat, Muh. Akram J. Said, dan Ahmad Fadhilla, serta tambahan dari Pembina pada tanggal 05 Mei 2024.

URBAN SUFISME

Perkembangan kehidupan dunia dari masa ke masa tentu mengalami kemajuan yang sangat pesat baik itu dari segi sains maupun teknologinya yang memberikan kemudahan bagi penduduk dunia untuk melakukan aktivitas kehidupannya. Bahkan bukan hanya untuk memudahkan dalam pekerjaan akan tetapi menyediakan hiburan dengan segala gemerlapnya untuk memenuhi kebutuhan rileks bagi manusia.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu ternyata perkembangan teknologi tetap saja tidak dapat memenuhi segala keinginan dan kebutuhan manusia terutama kebutuhan spiritual yang mana hal itu adalah kebutuhan untuk menerangi hati yang hampa yang terdapat pada diri manusia ditengah gemerlapnya kehidupan di kota-kota besar bahkan perkampungan.
Maka ditengah-tengah kekosongan hati, masyarakat perkotaan merasa perlu mencari ketenangan dengan kembali menghidupkan suasana-suasana religi, zikir, membaca al Quran dan ibadah lainnya agar hati merasa tenang karena lebih dekat dengan sang maha pemberi ketenangan yaitu Allah SWT. Gairah inilah yang dinamakan dengan urban sufisme.
Urban berarti masyarakat perkotaan sedangkan sufime berarti gerakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam prakteknya, uban sufisme menawarkan hal yang berbeda sufisme terdahulu. Jika pada awalnya sufisme selalu terkait dengan adanya ikatan erat atau atau dikenal dengan tarekat dengan seorang pembimbing yang disebut mursyid, maka sufisme perkotaan tidak mensyaraktkan hal itu. Masyarakat urban hanya perlu mengamalkan ibadah-ibadah yang telah diajarkan oleh guru biasa tanpa adanya baiat atau perjanjian.

“ Jika tarekat diartikan sebagai sekolah, maka sufi berarti belajar itu sendiri”
Demikian jawaban Ustadz Aliasyadi ketika ditanya apa perbedaan antara tarekat dan sufisme.jika disekolah terdapat sistemnya, tingkatannya dan lain sebagainya maka begitu juga tarekat yang terdapat mursyid sebagai pembimbing dan menuntun amalan-amalan yang harus dilakukan secara konsisten. Berbeda dengan sufisme, sufisme itu berarti gerakan untuk mendekatkan diri kepada Allah bagaimanapun caranya, apakah dia sendiri atau dilakukan bersama sama maka itu diartikan sebagai sufisme. Atau dengan cara merubah gaya hidupnya jadi lebih sederhana maka itu diartikan sufisme.
Pada masyarakat perkotaan inilah khususnya banyak bermunculan majelis-majelis zikir sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menenangkan hati. Tentu kita mengenal majelis zikir yang dipimpin oleh KH A. Shohibul Wafa Tajul Arifin di Suralaya di Jawa Barat, atau juga majelis zikir yang dipimpin oleh alm Ustadz Arifin Ilham dengan peminat dan pengikutnya yang sangat banyak. Tentu ini merupakan hal positif karena semakin banyak bermunculan majelis-majelis zikir maka tingkat spiritual masyarakat akan meningkat dan mampu menjadi benteng pertahanan iman dan moral dibalik serba-serbi kehidupan perkotaan,
Di Anwarul Quran sendiri, disini selalu mengamalkan zikir dari Syaikh Said Nursi, ciri khas dari Beliau adalah selalu mengajarkan kepada kita bahwa harus seimbang adalah antara zikir dan fikir, sehingga apabila keseimbangan itu terwujud maka akan tercipta insan yang kuat secara lahiriah dalam menjalani aktivitas duniawinya juga hatinya penuh dengan nilai-nilai spiritual dan ketaatan kepada Allah SWT.

• Hasil resensi yang disampaikan oleh Suendi Efendi, Habibu, dan Faiz serta tambahan materi dari Pembina pondok pesantren pada tanggal 26 April 2024.

EKSISTENSI ULAMA PEREMPUAN INDONESIA

Ulama merupakan bentuk jamak dari kata ‘aaliim artinya orang yang sangat berilmu. Dalam kegiatan bedah artikel mingguan Ustadz Aliasyadi Lc., MA selaku Pimpinan Pondok Pesantren Anwarul Qur’an menjelaskan bahwa yang bisa disebut sebagai ulama adalah orang yang menguasi ilmu agama baik itu perempuan maupun laki-laki. Namun terdapat perbedaan antara level seorang ulama dengan seorang ustadz. Seorang ulama dapat dilihat dari tingkat keilmuan dan kepribadianya, dan biasanya seorang ulama adalah orang  yang reputasi atau kredibilitasnya telah diakui oleh  masyarakat.

Pemahaman kata ulama dalam pandangan masyarakat Indonesia diidentikkan dengan orang suci, ahli agama dan berjenis kelamin laki-laki. Padahal ketika melihat sejarah Islam, pada masa Nabi Muhammad Saw membuktikan bahwa perempuan ternyata mampu berkiprah layaknya seorang ulama laki-laki. Contoh saja istri Nabi Muhammad Saw, sejak dahulu  tidak  hanya  berdiam diri di rumah, semuanya berkiprah di masyarakat seperti Siti Aisyah r.a dan Siti Khadijah r.a. Di zaman Nabi juga banyak perempuan yang menjadi Ulama, salah satu yang paling terkenal adalah Sayyidah Nafisah (gurunya Imam Syafi’i). Banyak juga perempuan di zaman Nabi yang menjadi juru pembicara, serta banyak terjadi interaksi sahabat Nabi dengan perempuan pada diskusi ilmiah.

Di Indonesia, eksistensi ulama perempuan mulai terlihat. Terbukti bahwa sejak tahun 2017, berdiri organisasi Kongres Ulama Perempuan yang disingkat KUPI. Awalnya organisasi ini hanya diperuntukan oleh kaum perempuan yang mengetahui pemahaman agama yang mendalam,  namun  pada saat kongres kedua Ulama Perempuan diperluas maknanya, yang mana tidak hanya diperuntukkan oleh kaum perempuan saja melainkan oleh kaum laki-laki yang memerhatikan hukum-hukum mengenai perempuan maka dikatakan juga sebagai ulama perempuan. Ada tiga isu krusial di dalam Kongres Ulama Perempuan yaitu kekerasan seksual, pernikahan dini dan kerusakan terhadap alam

Ustadzah Mayyadah Lc., M.H.I selaku Pembina Pondok Pesantren Anwarul Qur’an juga menjelaskan bahwasanya  berdirinya  KUPI sebenarnya untuk mengkritisi eksistensi perempuan khusunya di Indonesia yang sudah mulai menurun. Ada sejarawan yang mengatakan bahwa sejak terjadinya perang Salib perempuan harus berdiam diri di rumah karena banyaknya  fitnah yang terjadi yang dapat membahayakan perempuan, dan  tanpa disadari hal ini berlaku hingga sekarang  padahal konteksnya sudah berubah. Dapat dibuktikan dengan data yang mengatakan bahwa diantara sepuluh kasus hanya  terdapat satu yang terjadi pada perempuan. Hal ini menyatakan bahwa konteksnya telah berubah dan dalam Islam sendiri suatu hukum tidak dapat digunakan ketika konteksnya berubah.

Sekarang di Indonesia ulama perempuan sudah banyak dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan besar, misalnya Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A  yang tercatat sebagai anggota Komisi Fatwa MUI perempuan pertama sejak tahun 1987, anggota Dewan Syariah sejak tahun 1997, dan sejak tahun 2000 menjadi ketua MUI Pusat Bidang Pengajian dan Pengembangan Sosial.  

Ustadz Aliasyadi Lc.,MA. dalam hal ini menambahkan bahwa Sebenarnya ulama perempuan di Indonesia banyak, namun beda perannya dengan laki laki. Ulama laki-laki perannya lebih banyak daripada ulama perempuan. Akan tetapi jika dihitung secara jumlah antara ulama laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda.Hal ini disebabkan karena sejak zaman Nabi, kebanyakan orang yang lebih dekat dengan Nabi adalah laki-laki. Sehingga tanpa sadar peran laki-laki lebih banyak, namun Nabi tidak melarang untuk seorang perempuan menjadi ahli agama. Bahkan hampir semua sahabat Nabi mengambil ilmu dari Aisyah r.a.

*Materi ini disampaikan dalam kegiatan bedah artikel mingguan di Pondok Pesantren Anwarul Qur’an oleh Zulfa, Nur Aliyah Karima dan Falgis Febrianjani Syukur, serta tambahan dari Pembina pada tanggal 21 April 2024.