Ulama merupakan bentuk jamak dari kata ‘aaliim artinya orang yang sangat berilmu. Dalam kegiatan bedah artikel mingguan Ustadz Aliasyadi Lc., MA selaku Pimpinan Pondok Pesantren Anwarul Qur’an menjelaskan bahwa yang bisa disebut sebagai ulama adalah orang yang menguasi ilmu agama baik itu perempuan maupun laki-laki. Namun terdapat perbedaan antara level seorang ulama dengan seorang ustadz. Seorang ulama dapat dilihat dari tingkat keilmuan dan kepribadianya, dan biasanya seorang ulama adalah orang yang reputasi atau kredibilitasnya telah diakui oleh masyarakat.
Pemahaman kata ulama dalam pandangan masyarakat Indonesia diidentikkan dengan orang suci, ahli agama dan berjenis kelamin laki-laki. Padahal ketika melihat sejarah Islam, pada masa Nabi Muhammad Saw membuktikan bahwa perempuan ternyata mampu berkiprah layaknya seorang ulama laki-laki. Contoh saja istri Nabi Muhammad Saw, sejak dahulu tidak hanya berdiam diri di rumah, semuanya berkiprah di masyarakat seperti Siti Aisyah r.a dan Siti Khadijah r.a. Di zaman Nabi juga banyak perempuan yang menjadi Ulama, salah satu yang paling terkenal adalah Sayyidah Nafisah (gurunya Imam Syafi’i). Banyak juga perempuan di zaman Nabi yang menjadi juru pembicara, serta banyak terjadi interaksi sahabat Nabi dengan perempuan pada diskusi ilmiah.
Di Indonesia, eksistensi ulama perempuan mulai terlihat. Terbukti bahwa sejak tahun 2017, berdiri organisasi Kongres Ulama Perempuan yang disingkat KUPI. Awalnya organisasi ini hanya diperuntukan oleh kaum perempuan yang mengetahui pemahaman agama yang mendalam, namun pada saat kongres kedua Ulama Perempuan diperluas maknanya, yang mana tidak hanya diperuntukkan oleh kaum perempuan saja melainkan oleh kaum laki-laki yang memerhatikan hukum-hukum mengenai perempuan maka dikatakan juga sebagai ulama perempuan. Ada tiga isu krusial di dalam Kongres Ulama Perempuan yaitu kekerasan seksual, pernikahan dini dan kerusakan terhadap alam
Ustadzah Mayyadah Lc., M.H.I selaku Pembina Pondok Pesantren Anwarul Qur’an juga menjelaskan bahwasanya berdirinya KUPI sebenarnya untuk mengkritisi eksistensi perempuan khusunya di Indonesia yang sudah mulai menurun. Ada sejarawan yang mengatakan bahwa sejak terjadinya perang Salib perempuan harus berdiam diri di rumah karena banyaknya fitnah yang terjadi yang dapat membahayakan perempuan, dan tanpa disadari hal ini berlaku hingga sekarang padahal konteksnya sudah berubah. Dapat dibuktikan dengan data yang mengatakan bahwa diantara sepuluh kasus hanya terdapat satu yang terjadi pada perempuan. Hal ini menyatakan bahwa konteksnya telah berubah dan dalam Islam sendiri suatu hukum tidak dapat digunakan ketika konteksnya berubah.
Sekarang di Indonesia ulama perempuan sudah banyak dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan besar, misalnya Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A yang tercatat sebagai anggota Komisi Fatwa MUI perempuan pertama sejak tahun 1987, anggota Dewan Syariah sejak tahun 1997, dan sejak tahun 2000 menjadi ketua MUI Pusat Bidang Pengajian dan Pengembangan Sosial.
Ustadz Aliasyadi Lc.,MA. dalam hal ini menambahkan bahwa Sebenarnya ulama perempuan di Indonesia banyak, namun beda perannya dengan laki laki. Ulama laki-laki perannya lebih banyak daripada ulama perempuan. Akan tetapi jika dihitung secara jumlah antara ulama laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda.Hal ini disebabkan karena sejak zaman Nabi, kebanyakan orang yang lebih dekat dengan Nabi adalah laki-laki. Sehingga tanpa sadar peran laki-laki lebih banyak, namun Nabi tidak melarang untuk seorang perempuan menjadi ahli agama. Bahkan hampir semua sahabat Nabi mengambil ilmu dari Aisyah r.a.
*Materi ini disampaikan dalam kegiatan bedah artikel mingguan di Pondok Pesantren Anwarul Qur’an oleh Zulfa, Nur Aliyah Karima dan Falgis Febrianjani Syukur, serta tambahan dari Pembina pada tanggal 21 April 2024.