WhatsApp-Image-2023-07-21-at-10.25.35

Menjadi Ustaz Vs Ustaz Jadi-Jadian

Oleh: Muhsin, S.Th.I., M.A.Hum*

            Tulisan ini berawal dari kegelisahan penulis melihat fenomena di media sosial saat ini.  Terlepas dari sisi positif atau negatif,  kita semua pasti telah merasakan dampak media sosial. Salah satunya dalam memahami persoalan agama, kita tidak lagi berpusat pada ruang kelas, mencari tahu ke guru atau orang tua, tetapi gawai dalam genggaman juga bisa menjadi rujukan. Tak heran jika semua orang terkesan pandai bicara agama, dari persoalan kecil maupun besar, dengan atau tanpa filter.

            Penulis pernah mendapati salah satu akun di facebook menjelaskan sebuah hadis. Bunyi postingan hadis tersebut: “Sesungguhnya malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang terdapat lukisan di dalamnya”. Lantas salah satu netizen berkomentar: bagaimana dengan foto keluarga yang dipajang? Pemilik akun itu pun menjawab bahwa foto keluarga juga termasuk lukisan yang dilarang. Ia bahkan  tidak menyertakan asbab wurud (latar belakang peristiwa) hadis tersebut. Padahal, jika ditelusuri sejarahnya, larangan dalam hadis tersebut terkait dengan kultur masyarakat Arab yang masih bersifat paganisme kala itu. Mereka membuat gambar-gambar perwujudan Tuhan atau lukisan pengganti berhala,  sehingga hadis tersebut sebenarnya merupakan perlawanan kepada para penyembah selain Allah. Para ulama pun membuat kriteria-kriteria lukisan yang dilarang, tidak asal pukul rata semua haram.

Ayat-ayat Al-Qur’an, yang jelas-jelas merupakan rujukan kuat dan sahih, bisa saja disalahpahami maknanya. Misalnya Allah berfirman dalam Q.S al-Taubah ayat 5: “Apabila telah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrik dimana saja kamu berada. Tangkaplah mereka dan kepunglah mereka dan intailah mereka di tempat pengintaian…”  Ayat ini jika dipahami secara tekstual tentu saja bermakna agar semua orang dipaksa masuk Islam secara anarkis dan lewat jalan perang.  Secara teks, jika dimaknai seperti itu, maka tentu kontras dengan ayat tentang tidak ada paksaan dalam beragama. Secara spirit, hal ini juga tidak sejalan dengan prinsip toleransi (tasamuh). Jika kita menganalisa asbab nuzul (sebab turunnya ayat) tersebut, maka ayat ini turun pada peristiwa Fathul Makkah. Konteks peristiwa di zaman Rasulullah membebaskan Mekkah dari kekuasaan kafir Quraisy tentunya tidak sama dengan konteks kehidupan bermasyarakat di zaman sekarang. Namun paham ekstrimis Islam yang juga biasa dipanggil ustaz, banyak terinspirasi dari teks ayat tersebut.

            Dalam bahasa Arab, istilah ustaz (kata tidak baku: ustad atau ustadz) berarti “guru” baik itu guru umum ataupun guru agama. Istilah ini dalam konteks ke-Indonesia-an lebih sempit karena ustaz identik dengan guru agama, atau bahkan, ustaz adalah orang yang menguasai masalah agama. Realitanya, orang yang rajin ke masjid atau dengan bekal terbiasa pakai peci, langsung diklaim bahwa dia ustaz, tanpa mengecek latar belakangnya. Begitupula di media sosial, mereka yang bergaya islami, content creator agama rujukan google, dapat dicap netizen sebagai ustaz, meski masih newbie ilmu agamanya.

            Menurut penulis, fenomena ini jelas tidak sehat, bahkan cenderung membuat masyarakat salah kaprah dan berujung salah arah. Dari beberapa “ustaz” di dunia internet, sebagian dikenal karena viralnya saja. Mungkin secara dakwah tentu saja ini berhasil, akan tetapi secara kualitas konten (isi) masih banyak yang asal bunyi.

            Semoga kegelisahan penulis terhadap fenomena ustaz-ustaz medsos bukan sekedar halusinasi belaka. Semoga kita semua, terutama penulis, bisa mengambil sedikit peran penting dalam berdakwah di internet.  Bukan atas dasar viral semata, bukan asbun (asal bunyi) atau aspos (asal posting), tetap berdasar pada kapasitas keilmuan dan niat yang ikhlas. Wallahu A’lam.

*Dosen Tafsir Hadis UIN Datokarama Palu

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *