Jika Ini Ramadan Terakhir

Oleh: Agustina Kumala DS

Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk dalam kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran

QS Al-Ashr: 1-3

Lebih dari separuh Ramadan telah terlewati dan separuh sisanya adalah emas. Alhamdulillah kita semua termasuk dalam barisan orang-orang pilihan yang diizinkan oleh Allah untuk bertemu dengan bulan penuh berkah di tahun ini. Pilihan, sebab ada juga orang-orang yang terpilih untuk tidak lagi bertemu dengan bulan Ramadan.

Seperti budhe (kakak dari Ibu) saya, yang wafat beberapa hari menjelang bulan suci ini. Ada pula seorang teman saya, hampir sepuluh tahun tak bersua, hingga kemudian bisa terhubung kembali dan bertukar nomor telepon. Baru beberapa kali saling berkirim pesan, saling mendoakan dan bermaafan sebelum memasuki Ramadan, tiba-tiba terdengar berita jika beliau kembali pada Sang Pencipta. Ya Allah, padahal saat itu Ramadan hanya tinggal menghitung jam saja. Tidak hanya itu, ketika Ramadan telah berjalan beberapa hari, tak disangka tak diduga, ada pengumuman dari TOA masjid yang mengabarkan salah satu saudara sesama muslim meninggal dunia. Beliau memang sempat bertemu dengan bulan Ramadan, namun rupanya Allah menakdirkannya bersua di awal saja, tanpa merasakan nikmatnya bulan mulia ini tuntas hingga akhir.

Betapa jatah hidup di dunia sungguh tak dapat ditebak berapa lamanya. Benar firman Allah dalam surah al-A’raf ayat 34, yang menyebutkan bahwa setiap umat mempunyai ajal (batas waktu), apabila ajalnya telah tiba, maka manusia tidak dapat meminta penundaan atau percepatan walau sedetikpun.

Hidup ini tak ubahnya seumpama sebuah kontrak waktu dengan Sang Pencipta. Ada waktu saat kita dilahirkan dan ada waktu saat kita kembali pulang keharibaan-Nya. Waktu kembali pulang itu, tak akan peduli situasi dan kondisi. Tua-muda, sehat-sakit, sibuk-lapang, bahkan siap-tak siap, jika kontrak hidup telah usai, maka usai pula waktu untuk hidup di dunia. Kali ini kita masih bisa menikmati bulan Ramadan dengan segala suka cita, tahun depan belum tentu bisa kembali bersua.

Pernahkah kita melihat album foto, kemudian mendapati foto orang tua, saudara, kerabat, atau teman yang telah mendahului kita? Mereka yang dulu hidup bersama kita, satu persatu meninggalkan semua yang kini hanya bisa dikenang. Mereka sudah tidak ada lagi, tidak bisa kita temui, tidak bisa bersama tertawa dengan penuh canda lagi, tidak bisa saling merangkul ketika sedih. Hanya bisa mengirim doa dan amal baik sebagai bukti cinta kasih.

Seolah sedang berjajar dalam antrean, kita pun akan menyusul mereka. Suatu hari nanti foto kita akan ditempel sebagai kenangan di tembok rumah atau teronggok dalam album yang berdebu dan jarang dibuka. Sosmed kita tidak akan ada aktivitas apapun dan terdeteksi meninggal dunia. Lalu segala tingkah laku, juga segala perbuatan semasa hidup akan menjadi cerita saja. Entah dikenang dengan penuh kebanggaan atau justru diingat karena keburukan yang tak berkesudahan.

Saya teringat di suatu sore menjelang berbuka, seorang teman mengirimkan sebuah video di salah satu grup whatsapp, berisi iklan yang mengetuk hati tentang Ramadan terakhir. Iklan itu dikeluarkan oleh perusahaan energi milik negara dan dikemas dengan konsep yang menyentuh hati. Menceritakan momen-momen yang lazim dialami oleh para perantau. Yaitu pergi jauh untuk bekerja atau menuntut ilmu, hidup dan berjuang di tanah harapan dengan segala lika-likunya, dan tentu saja jauh dari orang tua serta kampung halaman.

Ada sebaris ungkapan di iklan itu yang sukses membuat saya juga bertanya ke diri sendiri: jika ini Ramadan terakhirku, saya mau melakukan apa? Ironisnya, semakin bertanya semakin saya menyadari jika selama ini jauh dari melakukan hal-hal yang berarti. Sungguh, saya sangat malu pada bulan mulia ini. Sementara ditakdirkan berjumpa dengan Ramadan adalah berkah, namun beramal masih setengah-setengah. Zikir tak tuntas, baca al-qur’an juga terbata-bata. Tahajud harus banyak dipaksa. Shalat tarawih pun pilih di tempat yang paling cepat selesainya. Bagaimana jika ini adalah Ramadan terakhirku? Ya Allah.

Selagi masih ada waktu dalam Ramadhan tahun ini, mari sejenak merenung dengan memandang sederhana semua yang membelit fikiran kita. Menarik nafas dengan pelan dan tarikan yang dalam, kemudian menghembuskannya perlahan. Meyakini bahwa di sisa bulan suci ini pasti bisa memacu diri untuk lebih dekat lagi dengan Sang Pencipta, berusaha untuk beribadah sekhusyu’ husyu’nya, ringan tangan untuk berbagi seluas-luasnya, serta melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya. Mari bersama memandang sekitar dan merasakan semua kehadiran yang sering kita abaikan.

Lihatlah, ada senyum ayah dan ibu yang masih bisa kita nikmati. Lihatlah, hanya ada senyum ayah, sementara ibu sudah beristirahat dengan damai di alam baka, atau hanya ada senyum Ibu, sementara ayah tak lagi bisa kita lihat sosoknya. Dengarlah, tawa renyah istri, kerling teduh mata suami, juga pekik ceria anak-anak. Lihatlah, kendaraan yang masih baru di garasi dan tak kita relakan dihiasi debu.

Rumah yang indah serta nyaman. Pekerjaan dan jabatan yang kita banggakan. Segala pencapaian yang selalu kita ceritakan. Tempat tidur dengan kasur empuk dan suasana yang menentramkan pikiran. Tabungan dan investasi yang susah payah kita kumpulkan. Gadget canggih yang tak ketinggalan zaman. Lingkungan yang menyenangkan, sahabat yang selalu ada saat kita butuhkan, tetangga dan saudara yang saling mendukung dalam kebaikan.

Renungkan, jika ini Ramadan terakhir, maka semua itu akan sirna. Jika ini adalah Ramadan terakhir, semua itu harus kita tinggalkan. Jika ini adalah Ramadan terakhir, semua itu akan hilang dalam satu kedipan. Untuk itu, jika ini adalah Ramadan terakhir, apa yang akan kita lakukan?

Selamat beribadah dengan amalan terbaik yang bisa kita kerjakan. Semoga ditakdirkan bisa berjumpa lagi dengan Ramadan tahun depan. Amin!

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *