Kata ‘mazhab’ sudah tidak asing lagi bagi masyarakat secara umum. Mazhab dapat diartikan sebagai hasil pendapat dan pemikiran para Ulama yang menjadi salah satu sumber hukum bagi Umat Islam dalam menempuh jalan yang diridai Allah. Mazhab bukanlah kelompok yang menjadikannya harus diperdebatkan, melainkan lebih tepat diartikan sebagai pilihan sesuai pada ketentuannya.
Pimpinan Pesantren Anwarul Qur’an Kota Palu, KH. Aliasyadi Lc., MA. mengatakan bahwa dahulu sebelum Rasulullah Saw. wafat, para sahabat merujuk langsung pada Al-Qur’an berupa wahyu yang disampaikan, sedangkan ketika sahabat mempunyai permasalahan, mereka dapat langsung bertanya dan mendapat jawaban dari Nabi. Disinilah letak perbedaan awal, tatkala sahabat memahami perkataan atau perbuatan Nabi, bisa saja berbeda pula yang ditangkap.
Contohnya ketika suatu hari Nabi sedang sa’i dengan berlari-lari, sahabat berbeda pendapat dalam memahaminya. Ketika haji berikutnya, sebagian sahabat melakukan sa’i dengan berlari-lari karena menganggapnya sebagai sunnah sebagaimana yang Nabi praktikkan pada sa’i sebelumnya. Sebagiannya lagi memilih tidak berlari-lari karena memandang bahwa yang Nabi lakukan itu hanyalah disebabkan situasi yang mendesaknya, yakni karena ketika itu ada orang-orang musyrik.
Para sahabat yang telah mendengarkan ataupun melihat apa yang Nabi lakukan semasa hidupnya, kemudian terbagi-bagi ke berbagai wilayah. Mereka akan bertemu orang-orang yang tidak mengerti tentang Al-Qur’an dan Hadis, mereka lah yang akan menjelaskan sesuai pada apa yang dipahaminya dari Nabi, berlanjut hingga para tabi’in. Setelah wafatnya para tabi’in, orang-orang akan merujuk kepada para Ulama di masanya. Para Ulama tersebut telah mengabdikan dirinya untuk belajar agama, menuntut ilmu hingga berpuluh-puluh tahun. Mereka disebut Mujtahid, orang-orang yang pintar, menguasai Al-Qur’an dan Hadis.
Ketika masa sahabat, tidak ada pembukuan terhadap apa yang diperoleh para sahabat dari Nabi, semua hanya mengandalkan hafalan. Beda halnya dengan masa mujtahid, para murid akan mencatat hadis-hadis dan pendapat dari Ulama, kemudian dibukukan. Seperti ketika para murid Imam Malik mengajar, muridnya akan mencatatnya. Kelompok yang mempelajarinya kemudian disebut Mazhab Maliki. Begitu pula Imam Syafi’i yang belajar kepada Imam Malik, karena ketekunannya dalam belajar, beliau dapat mencapai level ilmu untuk menjadi mujtahid. Beliau tidak perlu lagi mengikuti mazhab tersebut, karena beliau dapat merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan Hadis.
Banyak dari murid Imam Syafi’i secara level ilmu sudah bisa memenuhi syarat mujtahid, tetapi karena sifat rendah hatinya, mereka tetap berpegang pada mazhab gurunya. Sebelum mazhab empat Imam besar yang berpegang teguh pada Ahlusunnah wal Jama’ah dan diakui saat ini, ada banyak mazhab lainnya, namun tidak mampu bertahan.
Dewasa ini sebuah istilah gerakan yang cukup kontroversi muncul ditengah masyarakat, dikenal dengan gerakan anti mazhab. Meskipun secara historis gerakan-gerakaan seperti ini sudah ada sejak lama, namun baru dikembangkan istilahnya belum lama ini. Dari kata anti mazhab tersebut dapat dipahami bahwa kelompok ini menolak dengan adanya mazhab. Secara lebih spesifiknya, gerakan anti mazhab adalah orang-orang yang memiliki prinsip bahwa sebagai umat Islam kita harus merujuk pada Al-Qur’an dan Hadis, tidak ada sumber hukum Islam selain keduanya.
Gerakan anti mazhab hanya memahami hukum dengan berpatokan pada teks semata. Orang-orang yang awam terhadap keniscyaan Islam, bisa dengan mudahnya menilai bahwa prinsip tersebut adalah hal yang benar, mereka akan cenderung setuju pada pemahaman tersebut. Akan tetapi, bagaimana seseorang bisa kembali kepada dua rujukan utama tersebut tanpa adanya orang yang mengarahkan atau menjadi panutan?
Orang yang memilih anti mazhab tidak selamanya karena alasan ketidaksetujuannya pada mazhab yang ada, bisa saja mereka tertipu pada slogan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Slogan ini pada sadarnya sangat bagus dan memang hal yang benar, akan tetapi untuk mencapai tahap tersebut kita butuh perantara. Kita tidak boleh bersikap tertutup, menafikan tafsir, ijtihad dan mazhab para Ulama. Gerakan anti mazhab tidak mau berpatokan pada empat mazhab utama, mereka ingin pada alirannya sendiri.
Lucunya, diantara mereka yang menolak untuk bermazhab justru sangat fanatik pada guru atau tokoh tertentu. Mereka pada awalnya berdalih bahwa pendapat mazhab itu hanyalah pandangan para Ulama yang akan menjauhkan seseorang dari Al-Qur’an dan Hadis, namun di sisi lain ia sangat mengkultuskan gurunya.
Salah satu tokoh pencetus gerakan ini yaitu Ibnu Taimiyah. Menurutnya logika tidak boleh menjadi dasar dalam berijtihad, melainkan kita harus tunduk secara keseluruhan kepada nash Al-Qur’an dan Hadis, sehingga beliau menolak untuk berpedoman pada mazhab tertentu. Pemikirannya tersebut kemudian disusul oleh Ulama Salafi Wahabi berikutnya. Para penggerak anti mazhab tersebut sebenarnya telah belajar dari guru-gurunya yang bermazhab, akan tetapi mereka memilih pandangannya sendiri dan membentuk aliran baru.
Kehadiran gerakan anti mazhab menjadi sorotan karena tidak sesuai pada alasan yang mendasarinya. Padahal salah satu fungsi mazhab adalah untuk mengetahui bagaimana cara Rasulullah Saw. menjalankan agama berdasarkan pandangan dari para Alim Ulama. Mengapa harus melalui Ulama? Karena ulama adalah pewaris para Rasul. Ibaratnya membuka kulit durian tanpa menggunaakan pisau, pastinya akan sangat kesulitan, membuat terluka bahkan menjadi hal yang mustahil. Sama kasusnya jika orang menolak menggunakan mazhab dalam menjalankan agama, ia akan mempersulit dirinya sendiri. Karena untuk sampai pada rujukan utama tersebut bukanlah perkara yang mudah, semua butuh proses panjang dan syarat-syarat tertentu.
Kita yang belum bisa mencapai level mujtahid, ada tiga metode yang dapat kita lakukan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Pertama, metode qauli. Kita bisa mencari referensi dari kitab kuning. Kedua, metode ilhaqi. Pada metode ini seseorang dapat meng-qiyas¬-kan suatu masalah yang tidak dijawab pada kitab-kitab terdahulu dengan masalah serupa yang sudah dijawab pada kitab-kitab para Ulama. Ketiga, metode manhaji. Metode ini dilakukan dengan mengikuti arah pemikiran dan kaidah penentuan hukum yang telah disusun oleh para Imam Mazhab.
Secara logikanya, pantaskah jika orang yang ilmu agamanya masih sangat minim, bahasa arab dasar saja tidak tahu, ibadah pun belum terjaga dengan baik, kemudian dipaksakan langsung merujuk hukum dari Al-Qur’an dan Hadis? Sangat tidak mungkin, kapasitas kita masih sangat jauh untuk hal tersebut. Disinilah peran Ulama sebagai sarana rujukan kita dalam memahami Al-Qur’an dan Hadis. Seperti halnnya pasien yang percaya pada Dokter yang memeriksanya, begitupula kita harus yakin pada pendapat ulama tertentu dalam menjalankan agama sebagai jalan kita menuju keridaan Allah Swt.
*Materi tersebut disampaikan dalam kegiatan bedah artikel mingguan di Pesantren Anwarul Qur’an Kota Palu, tanggal 09 Juni 2024 oleh Siti Imanatul Amini dan Nurhalima serta penguatan dari para Pembina Pesantren.