FIKIH MINORITAS, SOLUSI BERISLAM DI NEGARA MAYORITAS NON MUSLIM

Fikih minoritas menjadi perbincangan serius dalam kegiatan rutin beda artikel di Pesantren Anwarul Qur’an Kota Palu. Tepat pada hari Ahad, 12 Mei 2024 tema ini disampaikan oleh dua pemateri. Masing-masing membahas isu utama dengan pendekatan yang berbeda-beda. Tema ini cukup mendalam. Perlu penguasaan dan ketajaman analisa. Inilah yang spesial dari Pesantren Anwartul Qur’an Kota Palu. Tradisi keilmuan bukan hanya disalurkan melalui pengajian kitab, tapi juga disalurkan melalui diskusi, dialogis yang merupakan tonggak lahirnya tradisi keilmuan

Fikih sebagai salah satu produk hukum Islam dituntut selalu aktual untuk menjadi solusi keagamaan bagi masyarakat. Hal ini mengharuskan para ulama memiliki kreatifitas yang tinggi agar aktualisasi hukum Islam tersebut dapat terwujud dengan sempurna di era  kontemporer saat ini.

Salah satu tema yang sering menjadi objek ijtihad dan aktualisasi hukum Islam akhir-akhir ini adalah fikih minoritas (fiqh al-aqaliyyaat). Secara bahasa, fikih minoritas adalah fikih yang membahas hukum-hukum terkait dengan kehidupan masyarakat Muslim sebagai warga minoritas di daerah yang mayoritas penduduknya adalah nom-muslim.

Izan Mandola selaku presenter pada diskusi kali ini menjelaskan bahwa kehadiran fikih minoritas ini sejatinya berawal dari akumulasi kegelisahan masyarakat minoritas Muslim di Dunia Barat ketika harus melakukan sesuatu yang berkaitan dengan keagamaan mereka. di satu sisi lanjut Izan, mereka harus taat pada ajaran agama yang diyakini sempurna, sementara di sisi lain ada ketidaksesuaian antara ketentuan-ketentuan fikih klasik yang mereka fahami dengan realitas sosial budaya di tempat mereka tinggal.

Termasuk masalah sosial-budaya mengakibatkan munculnya problematika hukum Islam bagi masyarakat minoritas muslim. Mereka sering merasa kesulitan ketika akan menjalankan ibadah dan kegiatan keagamaannya karena perbedaan social-budaya antara Negara tempat mereka berasal dengan Negara Barat yang mereka tempati saat ini. Khususnya bagi warga imigran, mayoritas hukum Islam yang mereka ikuti masih merupakan representasi dari kultur social dan politik tempat mereka berasal dan hal ini sangat berbeda dengan kultur Negara yang mereka tempati saat ini, demikian Izan Mandola menjelaskan.

Banyaknya masalah yang kian terus bertambah menjadikan sebagian ulama melarang seorang muslim tinggal di Negara-negara non muslim karena mempertimbangkan mudharatnya. Namun Akbar Raihan Zaky selaku presenter menjelaskan dengan mengutip pendapat Prof. Dr Mufli Assyahri bahwa ada juga ulama yang membolehkan dengan ketentuan-ketentuan yang harus ditegakkan seperti; tetap terjaganya agama, harta, kehormatan seorang muslim, dan kemampuan untuk menjaga syariat.

Selanjutnya KH. Aliasyadi selaku pimpinan pesantren juga ikut serta memberikan komentar terkait dengan fikih minoritas. Menurutnya, hukum yang berlaku di Negara Muslim dengan Negara Non-Muslim memiliki perbedaan dalam penetapan hukum karena situasi dan kondisi sosialnya yang berbeda. Seperti halnya hukum shalat jum’at. Di Negara-negara mayoritas muslim mewajibkan masyarakatnya shalat di masjid. Bahkan seperti Negara Arab Saudi mempunyai aturan tersendiri dalam menghukum masyarakatnya yang tidak melaksanakan shalat juma’at dimasjid. Hal ini terjadi karena seluruh warga negaranya adalah muslim begitu juga hukum pemerintahannya menggunakan hukum Islam, maka tidak ada yang dapat memprotes terhadap kebijakan pemerintah.

Berbeda dengan Negara Islam mayoritas akan tetapi system pemerintahannya menggunakan system demokrasi bukan monarki Islam sebagaimana yang terjadi di Saudi Arabiah. Maka penetapan hukum tentu berbeda. Inilah yang disebut hukum itu harus sesuai dengan situasi dan kondisi dimana hukum itu berlaku.

Selanjutnya, perbedaan situasi dan kondisi dalam menetapkan hukum khususnya di Negara mayoritas non-muslim, mengharuskan adanya ulama atau majelis fatwa yang terbentuk di wilayah minoritas muslim untuk membahas hukum yang sesuai dengan situasi dan kondisi daerah tersebut.

Perlu diperhatikan bahwa tidak semua hukum Islam harus mengikuti budaya atau aturan yang ada di wilayah minoritas Islam tanpa memperhatikan prinsip-prinsip utama hukum Islam itu sendiri. KH. Aliasyadi menjelaskan bahwa agama ini ada hal-hal yang bisa berubah (Furuiyyah) dan ada hal-hal tidak bisa berubah (Ushuliyyah). Seperti masalah Ushuliyyah, mulai dari ketentuan rakaat shalat, waktu pelaksanaan haji, batas aurat dll itu semua adalah bagian fundamental yang tidak bisa berubah dalam agama. Meskipun demikian, lanjut KH. Aliasyadi bahwa hukum menutup aurat itu wajib namun cara menutupnya itu yang berbeda-beda tergantung budaya sosial masyarakat setempat. Hal ini sesuai dengan kaedah yang mengatakan Al-‘Adatu Muhakkamah adat atau tradisi yang dijadikan landasan hukum.

Dengan demikian kehadiran Ulama dalam proses penetapan hukum di wilayah-wilayah minoritas menjadi sangat penting, sehingga dapat mencegah terjadinya kesalahfahaman hukum khususnya orang yang belum memahami agama atau masih perlu bimbingan dari ulama.

KH Aliasyadi menutup dengan mengajak para santri agar selalu semangat dalam belajar khususnya pada bidang hukum atau fikih agar nantinya para santri mampu beradaptasi dengan masalah-masalah fikih kontemporer yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, sekaligus mengembalikan redupnya etos keilmuan di kalangan ummat Islam hari ini.

Materi tersebut disampaikan dalam kegiatan bedah artikel mingguan di Pesantren Anwarul Qur’an Kota Palu, tanggal 12 Mei 2024 oleh Akbar Raihan Zaky dan Izan Mandola serta penguatan dari para Pembina Pesantren

STUDI ORIENTALIS TERHADAP ISLAM

Istilah orientalis berasal dari bahasa Prancis dari kata “orient” berarti Timur. Sedangkan orientalisme adalah gerakan atau faham yang berhubungan dengan bangsa-bangsa di Timur dan lingkungannya. Adapun orientalis merupakan sarjana-sarjana Barat yang non-Islam dan mempelajari seputar dunia Timur. Dunia Timur yang dimaksud yakni wilayah-wilayah yang ada di Timur dekat (seperti Turki), Timur tengah (seperti Afganistan sampai perbatasan Cina), dan Timur jauh (seperti Indonesia).

Para orientalis mempelajari semua dunia timur tersebut, tidak sekadar belajar tentang Islam. Diantara mereka ada yang berfokus mempelajari budaya, bahasa, hingga pada agama-agamanya. Hanya saja kajian yang paling yang paling banyak dibahas adalah Islam itu sendiri. Penyebaran Islam yang begitu pesat menimbulkan kekhawatiran orang-orang Barat akan tergesernya eksistensi suku, bahasa, maupun agama di daerah mereka. Sebagian orang Barat juga memiliki stigma buruk terhadap Islam. Hal ini tidak terlepas dikarenakan banyaknya serangan yang mengatasnamakan Islam, seperti kasus-kasus teroris.

Ustadz Aliasyadi Lc.,MA. dalam kegiatan resensi artikel, pada hari Ahad 05 Mei 2024  mengatakan bahwa secara garis besar ada tiga tujuan yang melandasi para orientalis melakukan kajian mendalam tentang Islam. Pertama, mencari keburukan atau kekurangan Islam dengan tujuan ingin memperkenalkan Islam sebagai agama yang tidak baik, seperti berlaku tidak adil kepada wanita, agama teroris dan menyukai peperangan. Padahal dalam Al-Qur’an sama sekali tidak ada kata pedang, pisau, bom atom ataupun senjata lainnya.  Semua itu hanya bentuk propaganda mereka.

Seperti Ignatz Goldziher yang menyatakan bahwa banyak periwayatan dari Abu Hurairah adalah riwayat yang meragukan, karena beliau hanya mendapatkan kesempatan belajar bersama Nabi Muhammad Saw. kurang lebih lima tahun. Padahal waktu yang singkat itulah yang membuat Abu Hurairah betul-betul memfokuskan belajar kepada Nabi hingga mampu meriwayatkan lebih dari 5.000 hadis.

Kedua, para orientalis yang belajar Islam dan juga aspek-aspek lainnya untuk tujuan tertentu. Bukan karena ingin menjelek-jelekkan Islam, melainkan mencari kelemahannya. Mereka cenderung menggunakan cara halus dalam menjalankan misi tersebut. Mereka berusaha mengenali Islam secara mendalam, sehingga mampu menemukan sisi kelemahan dari Umat Islam. Sebagaimana yang dilakukan oleh Christian Snouck Hurgronje. Ia belajar tentang Islam dalam waktu yang lama dan mempelajarinya secara mendalam, bahkan dikatakan bahwa ia sempat masuk Islam dan diganti namanya menjadi Abdul Ghofur.

Ia adalah orang yang telah membantu Belanda dalam menyusun taktik jahat demi menaklukkan kerajaan Aceh yang dikenal sangat kuat jiwa jihadnya. Setelah ia hidup bersama masyarakat Aceh dan mendapatkan banyak informasi, ia kemudian merumuskan cara untuk menjatuthkan kerajaan tersebut dengan menghantam kaum Ulamanya. Begitupula yang terjadi pada Kerajaan Bone yang berhasil ditaklukkan dengan menggunakan opium.

Ketiga, murni karena ingin belajar tentang Islam. Orientalis dengan tujuan ini sama sekali tidak ingin menjelek-jelekkan Islam, mereka hanya akan menjelaskan Islam sebagaimana yang ada dan telah dipelajarinya. Seperti yang dilakukan oleh Karen Amstrong (Inggris) dalam mengkaji sejarah Nabi dan Annemarie (Prancis) yang banyak membawa pengaruh dalam studi Islam dan tasawuf. Begitupun Joseph Schacht yang merupakan orientalis pertama yang melakukan kajian hadis dengan karya fenomenalnya The Origins of Muhammadan Jurisprudence mengenai hadis Nabawi yang menuai kontroversi.

Kajian orientalis ini dapat memberikan dampak positif dan negatif bagi umat Islam, diikarenakan orientalis terbagi lagi dalam orientalis ekstrim dan orientalis moderat. Orientalis yang memberikan pemahaman bahwa Islam adalah agama yang ekstrim dapat menimbulkan propaganda serta menjadi ancaman dan tantangan. Inilah orientalis yang perlu kita hindari pemikirannya. Sedangkan orientalis yang memperkenalkan Islam sebagai agama yang moderat dapat menjadi kabar baik dan membantu penyebaran Islam yang lebih signifikan.

Terkait boleh tidaknya kita merujuk pada pemikiran orientalis, Ustadz Aliasyadi mengatakan bahwa ketika pemikiran atau pandangan orientalis tersebut dapat memberikan manfaat kepada kita, maka tidak masalah untuk kita ambil. Seperti AJ. Wensinck yang menulis kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfāzh al-Hadīth al-Nabawi. Kitab ini seringkali menjadi rujukan terlebih di kalangan mahasiswa yang berkonsentrasi dalam kajian Hadis, kitab tersebut memudahkan dalam melacak hadis.

Selain orientalisme, ada pula istilah khusus untuk orang-orang yang mempelajari dunia Barat, dikenal dengan ‘Oksidentalisme’, meskipun tidak sepopuler kajian mengenai orientalisme. Ustadz Aliasyadi menutup kegiatan resensi artikel pagi hari itu dengan berpesan kepada para santrinya, “Tirulah semangat dari para orientalis, meskipun mereka bukan muslim, tapi mereka mau menghabiskan waktu, pikiran, dan harta untuk mempelajari Islam. Maka kita sebagai umat Islam harus jauh lebih semangat lagi daripada mereka dalam hal menuntut ilmu, jangan mau kalah dari mereka.”

*Materi ini disampaikan dalam kegiatan resensi artikel mingguan di Pondok Pesantren Anwarul Qur’an Kota Palu oleh Muh. Fathul Rahmat, Muh. Akram J. Said, dan Ahmad Fadhilla, serta tambahan dari Pembina pada tanggal 05 Mei 2024.

URBAN SUFISME

Perkembangan kehidupan dunia dari masa ke masa tentu mengalami kemajuan yang sangat pesat baik itu dari segi sains maupun teknologinya yang memberikan kemudahan bagi penduduk dunia untuk melakukan aktivitas kehidupannya. Bahkan bukan hanya untuk memudahkan dalam pekerjaan akan tetapi menyediakan hiburan dengan segala gemerlapnya untuk memenuhi kebutuhan rileks bagi manusia.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu ternyata perkembangan teknologi tetap saja tidak dapat memenuhi segala keinginan dan kebutuhan manusia terutama kebutuhan spiritual yang mana hal itu adalah kebutuhan untuk menerangi hati yang hampa yang terdapat pada diri manusia ditengah gemerlapnya kehidupan di kota-kota besar bahkan perkampungan.
Maka ditengah-tengah kekosongan hati, masyarakat perkotaan merasa perlu mencari ketenangan dengan kembali menghidupkan suasana-suasana religi, zikir, membaca al Quran dan ibadah lainnya agar hati merasa tenang karena lebih dekat dengan sang maha pemberi ketenangan yaitu Allah SWT. Gairah inilah yang dinamakan dengan urban sufisme.
Urban berarti masyarakat perkotaan sedangkan sufime berarti gerakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dalam prakteknya, uban sufisme menawarkan hal yang berbeda sufisme terdahulu. Jika pada awalnya sufisme selalu terkait dengan adanya ikatan erat atau atau dikenal dengan tarekat dengan seorang pembimbing yang disebut mursyid, maka sufisme perkotaan tidak mensyaraktkan hal itu. Masyarakat urban hanya perlu mengamalkan ibadah-ibadah yang telah diajarkan oleh guru biasa tanpa adanya baiat atau perjanjian.

“ Jika tarekat diartikan sebagai sekolah, maka sufi berarti belajar itu sendiri”
Demikian jawaban Ustadz Aliasyadi ketika ditanya apa perbedaan antara tarekat dan sufisme.jika disekolah terdapat sistemnya, tingkatannya dan lain sebagainya maka begitu juga tarekat yang terdapat mursyid sebagai pembimbing dan menuntun amalan-amalan yang harus dilakukan secara konsisten. Berbeda dengan sufisme, sufisme itu berarti gerakan untuk mendekatkan diri kepada Allah bagaimanapun caranya, apakah dia sendiri atau dilakukan bersama sama maka itu diartikan sebagai sufisme. Atau dengan cara merubah gaya hidupnya jadi lebih sederhana maka itu diartikan sufisme.
Pada masyarakat perkotaan inilah khususnya banyak bermunculan majelis-majelis zikir sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menenangkan hati. Tentu kita mengenal majelis zikir yang dipimpin oleh KH A. Shohibul Wafa Tajul Arifin di Suralaya di Jawa Barat, atau juga majelis zikir yang dipimpin oleh alm Ustadz Arifin Ilham dengan peminat dan pengikutnya yang sangat banyak. Tentu ini merupakan hal positif karena semakin banyak bermunculan majelis-majelis zikir maka tingkat spiritual masyarakat akan meningkat dan mampu menjadi benteng pertahanan iman dan moral dibalik serba-serbi kehidupan perkotaan,
Di Anwarul Quran sendiri, disini selalu mengamalkan zikir dari Syaikh Said Nursi, ciri khas dari Beliau adalah selalu mengajarkan kepada kita bahwa harus seimbang adalah antara zikir dan fikir, sehingga apabila keseimbangan itu terwujud maka akan tercipta insan yang kuat secara lahiriah dalam menjalani aktivitas duniawinya juga hatinya penuh dengan nilai-nilai spiritual dan ketaatan kepada Allah SWT.

• Hasil resensi yang disampaikan oleh Suendi Efendi, Habibu, dan Faiz serta tambahan materi dari Pembina pondok pesantren pada tanggal 26 April 2024.