“Dalam dunia politik dan kepemimpinan bukan hanya mengedepankan otak yang tajam, namun adakalanya membutuhkan perasaan yang kuat, dan perempuan adalah makhluk yang tercipta dengan insting yang kuat”. Ucap KH Aliasyadi, Lc., MA. selaku pimpinan pondok dalam kegiatan rutin bedah artikel di Pondok Pesantren Anwarul Qur’an pada Ahad 11 Februari 2024
Ketika membahas perempuan, maka hal ini tidak akan lepas dari isu gender. Faktanya bahwa terdapat kesenjangan atau ketimpangan gender yang berimplikasi terjadinya diskriminasi pada perempuan. Gender dan seks merupakan hal yang berbeda. Gender merupakan sifat yang melekat pada diri setiap orang yang dapat untuk dipertukarkan, sedangkan seks merupakan kodrat biologis setiap orang yang tidak dapat berubah.
Dalam masyarakat terdapat stereotip yang menimbulkan ketidakadilan bagi kaum perempuan. Misalnya dalam dunia publik, masih banyak anggapan dalam masyarakat menyatakan bahwa perempuan tidak akan cocok menjadi kepala keluarga. Perempuan juga tidak pantas bekerja di ruang publik sebagai tulang punggung keluarga. Tugas perempuan hanyalah di rumah dan di dapur. Anggapan ini telah mengakar dari keyakinan pada tiap orang sejak lama. Tanpa disadari, pandangan ini telah menyebabkan terjadinya marginilisasi pada kaum perempuan dengan melakukan pembatasan ruang gerak mereka, termasuk partisipasi dalam bidang politik.
Padahal, undang-undang negara kita sebenarnya telah memberikan kebebasan terhadap kaum perempuan untuk terlibat dalam dunia politik. Hanya saja pada kenyataanya terjadi ketidakseimbangan dalam keterlibatan. Hal ini dapat dilhat dari data jumlah penduduk Indonesia sebanyak 270jt jiwa, perempuan sebanyak 180 jt jiwa dan laki-laki sebanyak 90 jt jiwa. Persentase laki-laki lebih banyak terlibat dalam dunia politik dibanding perempuan yang jumlahnya lebih banyak.
Ketidakseimbangan ini bukan karena perempuan tidak berintelektual, tetapi karena kurangnya kesadaran perempuan tentang pentingngnya peran publik, serta stereotip yang telah melekat pada masyarakat mengenai tugas dan tanggung jawab seorang perempuan yang dianggap tidak membutuhkan ilmu politik. Padahal Margaret Thatcher, Perdana Menteri Inggris perempuan pertama, telah mengenalkan pada khalayak umum tentang keterwakilan perempuan dalam bidang politik. Margaret mengatakan bahwa “tidak ada sebuah masyarakat dimana laki-laki dan perempuan terpisah. Setiap perempuan yang mampu menjalani problematika kehidupan rumah tangga, maka dia juga mampu menjalani kehidupan yang mendalam”.
Pentingnya perempuan dalam dunia publik juga dikuatkan oleh KH Aliasyadi. Menurutnya, perempuan wajib terlibat aktif dalam pemilu sebagai bentuk mewakili diri sendiri dan perempuan yang lain dalam menyampaikan aspirasi. Sebab jika dalam seluruh lapisan kepemimpinan diisi oleh kaum laki-laki saja, maka akan banyak hak-hak perempuan yang terabaikan. Ustadz KH Aliasyadi juga memberikan contoh yang sangat sederhana bahwa suatu kepengurusan yang dipegang oleh laki-laki dapat membuat hak-hak sebagai perempuan tidak terpenuhi, misalnya dalam kepengurusan masjid. Hampir seluruh masjid di Indonesia pengurusnya adalah laki-laki. Akibatnya mukenah umum yang tersedia di masjid sangat kotor dan tidak terurus. Hal ini disebabkan karena seluruh pengurusnya adalah laki-laki yang kurang memiliki kepekaan terhadap kebutuhan perempuan.
Kondisi ini juga terjadi di dunia kampus. Para dosen perempuan seringkali kehilangan hak akibat kebijakan dan acara yang diputuskan oleh mindset patriarki. Contoh sederhana adalah kegiatan kampus atau rapat di hari libur. Sejatinya momen tersebut adalah kesempatan para ibu untuk mengurus kerperluan rumah dan lain-lain sebagainya, tapi harus menghadiri rapat yang diputuskan oleh pimpinan dari kaum laki-laki. Dalam konteks ini, perempuan sangat urgen terlibat aktif untuk menenetukan kebijakan publik yang ramah terhadap perempuan. Perempaun harus ikut serta dalam menduduki posisi penting di ruang publik.
Dalam konteks ini, Ustadz KH Aliasyadi mengenalkan sistem kepemimpinan di Pondok Pesantren Anwarul Qur’an. Sistem kepememipinan yang diterakan adalah sistem yang memerhatikan aspek kesetaraan dan keadilan. Kehidupan di pesantren Anwarul Qur’an berjalan seimbang karena bukan hanya laki-laki yang mengatur segala kepengurusanya, namun juga keterlibatan perempuan yang sangat aktif. Di pondok ini, laki-laki dan perempuan mempunyai peran masing-masing yang tidak dapat digantikan. Mereka saling melengkapi satu sama lain, sehingga dengan itu kehidupan yang harmoni dan sejahtera dapat terwujud.
*Materi tersebut disampaikan dalam kegiatan bedah artikel mingguan di Pesantren Anwarul Qur’an Palu, tanggal 11 januari 2021, oleh Nurbaitul Izza, Salsa Apriliana, Elsa Ayub Andan, dan Husnul Khatimah.