Terkadang keterikatan dan ketertarikan kita dengan sesuatu, membuat ikatan kita dengan Allah menjadi renggang, maka Allah ambil sesuatu tersebut untuk melepaskan ikatannya
Fenomena Artificial Intelligence dan Perintah Iqra’
Sebagai seorang muslim yang berinteraksi dengan AI, kita wajib menjadikan prinsip-prinsip agama sebagai remnya.
Uang: Sumber Sengsara atau Bahagia Kita?

Oleh: Jusmiati, S.Psi., M.Psi.*
Malam Ahad adalah momen yang sangat dinantikan oleh seluruh santri Salafiyah Anwarul Qur’an. Sebagian menyebutnya “malam ceria”, tetapi juga ada yang merasa malam itu “malam suram”. Setiap pukul 20.00, mereka berkumpul di teras minimarket pesantren. Satu persatu berdatangan, duduk berkumpul dengan style ala santri. Ada yang bahagia kegirangan, ada pula yang murung tak berdaya.
Setelah Bu Bendahara tiba, suasana mendadak senyap. Mereka pasrah dan menunggu panggilan seraya memegang erat-erat sebuah buku yang sangat berharga. Buku itu bukan buku sembarangan. Buku itu tak lain merupakan catatan belanja harian dan keuangan para santri.
Tibalah giliran santri diperiksa. Satu persatu memperlihatkan buku catatan di hadapan Bu Bendahara. Sejumlah pertanyaan harus dijawab santri, seperti “Kenapa jajanmu lebih banyak dari biasanya? Kenapa minggu ini utangmu lewat batas maksimal? Kenapa catatan pengeluaranmu tidak rapi?”
Berbagai jawaban pun keluar dari mulut mereka. Tak jarang ada santri mencari-cari alasan sebagai pembenaran. Sementara santri yang berhasil mempertanggungjawabkan catatannya dengan baik, raut wajahnya berseri-seri. “Yess, alhamdulillah”, demikian kata spontan keluar dari mulut mereka. Betapa tidak, jika melanggar aturan, maka konsekuensinya Bu Bendahara akan mengurangi jatah uang jajan demi melunasi utang mereka. Adapun yang mengatur keuangannya dengan baik, mereka tetap diberi uang jajan full.
Santri-santri yang lulus “audit”, lantas menyerbu minimarket dengan gembira. Mereka auto jajan roti gepeng, salah satu cemilan favorit dan terlaris di minimarket pesantren. Meski hanya sebuah roti harga seceng, itulah yang mereka anggap sebagai apresiasi dan reward karena telah berhasil melewati sepekan dengan penuh tanggungjawab terhadap keuangannya. “Bagaimana rasanya tidak berutang? Bagaimana rasanya mampu menahan diri dari belanja berlebihan?” Pertanyaan itu pun senantiasa dilontarkan Bu Bendahara sebagai stimulasi agar santri menyadari sumber kebahagiaannya.
Uang memang memiliki banyak makna. Uang terkadang dipersepsi sebagai segala-galanya. Konon, segala masalah bisa selesai dengan uang. Uang adalah penguasa, lambang kesuksesan. Ironisnya, tak jarang manusia menggantungkan kebahagiaan pada uang, bahkan segelintir individu begitu menuhankan uang. Nyatanya, uang secara universal itu sama saja sebagai alat tukar, standar nilai, dan alat bayar. Bedanya terletak di persepsi dan sikap kita terhadap uang itu. Bagaimana kendali diri kita dalam menggunakan uang.
Uang bisa menyebabkan manusia sengsara. Penulis buku The Psychology of Money, Morgan Housel, menggambarkan perilaku manusia terhadap uang itu melalui dua kisah yang bertolak-belakang. Ada kisah seorang Richard dan bagaimana sikapnya terhadap uang menyengsarakan hidupnya. Richard adalah seorang eksekutif Merrill Lynch lulusan Harvard, pebisnis sukses di usia sebelum 40 tahun. Ia ternyata berakhir bangkrut karena tidak pernah merasa cukup.
Kisah yang satunya membuktikan bahwa uang juga mampu membahagiakan. Kisah petugas kebersihan Amerika, Ronald Read yang rutin menabung. Di akhir hidupnya ia memiliki tabungan harta $8 juta sehingga mampu mewariskan $2 juta ke anak tirinya dan berdonasi $6 juta ke rumah sakit dan sekolah.
Bukan jumlah uang yang menyebabkan orang bahagia, namun sikap dan perilakunyalah terhadap uang. Persepsi dan sikap kita terhadap uang tidak hadir begitu saja. Adanya figur otoritas juga sangat berpengaruh, figur yang mendidik manusia tentang arti dan makna uang itu sendiri. Bisa orang tua, guru di sekolah hingga pembina di pesantren.
Itulah mengapa di pesantren Anwarul Quran, catatan keuangan santri juga dievaluasi setiap pekan. Santri tidak hanya belajar mengaji, bahasa Arab dan ilmu agama saja. Mereka juga diajarkan literasi keuangan. Santri disosialisasi tentang persepsi dan sikap yang tepat terhadap uang yang mereka miliki. Selain itu, literasi keuangan meliputi cara mengatur keuangan dengan baik, belajar merapikan catatan pengeluaran dan pemasukan serta bagaimana mengelola uang, tahu prioritas belanja, paham mana kebutuhan atau sekedar keinginan. Jika duaratus ribuan saja mereka tidak mampu mengatur dengan baik, bayangkan apa yang terjadi jika mereka menjadi seorang kepala rumah tangga dengan gaji pas-pasan atau sekian juta.
Melalui proses tersebut, santri akan memperoleh persepsi dan sikap yang tepat terhadap uang. Pada akhirnya, mereka mampu mengembangkan sikap tanggung jawab, kepercayaan diri, pengendalian diri dan self esteemnya pun meningkat. Pesantren Anwarul Qur’an menyadari bahwa manajemen keuangan sejak dini, bukan hanya mengajarkan makna pentingnya hidup minimalis dan berasas kebutuhan, tapi juga merancang masa depan yang penuh dengan kebahagian dan kesejahteraan.
*Bendahara dan Pengasuh Pesantren Anwarul Qur’an Palu